Adimas menyiapkan gelas sloki dan satu botol minuman mahal itu untuk Alam yang bertamu malam ini.
"Wendy bukan perempuan gatel yang siap sedia naik ranjang, lo tahu itukan? Jangan dengerin si Bambang!"
Alam menggeleng samar, penuh pertimbangan. "Gue bener-bener penasaran sekarang, udah bukan perkara ranjang lagi," balasnya.
"Pokoknya lo rusak Wendy, lo beneran brengsek, Lam."
Alam mangut-mangut malas. "Gue brengsek, banyak coba-coba, tapi kali ini gue serius, Wendy bikin gue penasaran gila-gilaan, gue bahkan ga mikir soal ranjang lagi.." Alam menyesap minuman itu sedikit.
"Wihh.. Udah mulai? Kenapa ga main ke club aja sih?" keluh Bambang walau pada akhirnya ikut duduk dan minum.
"Bosen, belum ada cewek baru yang bikin dia tertarik kecuali Wendy." Adimas melirik Alam yang cuek-cuek bebek.
Bambang terkekeh. "Lo kalah nih, Lam? Wendy emang susah di taklukin, dia ga tahu dateng dari zaman mana," kepalanya menggeleng tidak habis pikir dengan betapa baiknya Wendy.
Dunia sudah bebas tapi Wendy belum membebaskan diri. Didikan yang luar biasa hebat.
"Dia spesial.." Ceplos Alam tanpa sadar.
Adimas dan Bambang sontak saling lirik lalu terbahak, bahkan hampir menyemburkan minumannya.
"Ini sih senjata makan tuan.." ceplos Bambang.
Alam berdecak. "Ga gitu, emang yang kayak dia jarangkan sekarang? Di kota segede ini? Semodern ini? Ga usah lebay lo pada!" sebalnya.
"Iya sih.." Adimas mangut-mangut.
"Terus rencana lo ke depannya apa?"
Alam terdiam sejenak. "Ga perlu rencana, gue ga seserius itu buat jerat Wendy. Gue ngalir aja, ada hukumnya kok, benci bisa jadi cinta. Liat aja ke depannya ntar." jawabnya acuh.
***
Alam melirik ke arah meja Wendy, si cantik itu tengah sibuk dengan kerjaannya. Padahal baru sembuh.
Alam mengayunkan kakinya menghampiri Wendy, dia tidak akan mundur walau Wendy terus mendorongnya.
"Udah sehat?" Alam menyentuh kening Wendy, membuat si empunya kaget tentu saja.
Saat sadar, Wendy menepis tangan Alam dan memasang wajah galak khasnya.
"Lo pikir aja sendiri."
"Jangan jutek gitu, mau di sumpahin ga laku? Ntar cuma gue yang mau gimana?" Alam mengamati wajah Wendy dengan sesekali melirik jemari lincah di atas papan ketik itu.
Kecil-kecil cabe rawit, mungkin karena terbiasa ngetik. Wendy begitu lihay, itu semakin menambah nilai plus di mata Alam.
Alam akan menghasut pemilik kantor untuk tidak memecat Wendy. Wendy pegawai terbaik yang dia lihat sejauh ini.
Wendy berusaha abai walau rasanya sulit karena terus di pandangi. Risih juga kalau lama.
"Eh ada pak Alam." kata Dini dengan secangkir teh hangat.
Alam tersenyum tipis. "Alam aja, calon Wendy inih.." balasnya kalem.
Wendy mendelik semakin tidak bersahabat. "Sembarangan! Apa lo ga bisa liat situasi? Ini bukan jam istirahat! Lo emang suka makan gaji buta ya?" remehnya.
Dini berdecak samar. "Wen, lo kenapa sih? Jangan berlebihan gitu kenapa," ujarnya tak enak hati.
Dini tahu alasannya tapi kenapa seketara itu Wendy bertingkah? Biasanyakan dia bisa menolak halus, apa karena sepak terjang Alam yang luar biasa?
"Gue udah bilang jangan so kenal tapi dia ngeyel, gue bener-bener terganggu!" Wendy berdiri menggebrak meja, memutuskan untuk ke toilet.
Sekitarnya memandang Wendy dengan banyak pandangan.
"So jual mahal, ujung-ujungnya jatuh kepelukan, Alam." bisik-bisik pegawai lain.
Alam masih berada di tempatnya, menatap kepergian Wendy dengan senyum samar.
Berjalan saja kenapa semenggemaskan itu? pinggul dan bokong—STOP!
Alam berdehem lalu memutuskan untuk melangkah ke lorong yang sama, dia akan menunggu Wendy hingga selesai.
Tak lama kemudian..
"Hai? Bentar banget, keliatan ngehindarnya."
Wendy melirik sekilas lalu melewati Alam, dengan gesit Alam mencekal lengannya.
"Bentar, ada sesuatu yang nempel," Alam meraih potongan kecil tissue yang menempel di pipi dan rambut dekat telinga.
Wendy tercekat sesaat, sentuhan kecil yang sialnya membuatnya gugup. Detik berikutnya dia mundur sebagai penolakan.
"Satu lagi, di sebelah kiri." kata Alam dengan memperhatikan gerak tangan Wendy.
"Makanya diem, ga di apa-apain juga!" Alam membingkai wajah Wendy dengan modusnya, padahal tissue hanya ada di pipi dan sangat kecil.
Wendy diam kaku, itu sentuhan baru yang selama ini dia dapat.
Ponsel di sakunya terus berbunyi, kalau sudah ramai begini pasti ada gosip terbaru.
Wendy membuat jarak, menepis tangan Alam lalu menyalakan ponsel seraya terus melangkah menjauh.
Langkah Wendy terhenti, gambar beberapa detik yang lalu sungguh membuatnya naik darah.
"Kenapa berhen—"
Wendy berbalik lalu menekan ponselnya ke dada Alam agak kuat, sampai si empunya memekik pelan antara kaget dan cukup sakit.
"PUAS, HAH?! INI RENCANA LO'KAN?!" Wendy membentak, dia tidak peduli sekitar yang untungnya sepi.
Alam tersenyum tipis. "Puas banget, itu tandanya lo udah ga bisa lepas dari gue, gosip bilang lo sama gue pura-pura musuhan padahal kita pacar—"
PLAK!
Wendy menampar Alam saking frustasinya mengusir pria itu.
Satu pegawai masih setia di pojokan, merekam semua kejadian itu dengan terkaget-kaget.
Gosip pun berganti,
Katanya Wendy tidak tahu diri, disukai Alam malah menyakiti Alam. Pembenci pun banyak kini. Wendy hanya pasrah, menahan semuanya sampai kontrak kerjanya habis.
Alam tidak mengganggunya beberapa hari, Wendy jelas saja merasakan setitik kedamaian walau gosip tentangnya sesekali masih saja terdengar.