9. Dirahasiakan

90.9K 7.7K 212
                                    

      Wendy membiarkan Alam meletakannya di atas kasur yang menjadi saksi malam itu. Wendy perlahan terisak, menutup wajahnya menggunakan tangan.

Mendengar Wendy menangis, Alam dengan bodohnya bersyukur nan lega. Alam sungguh kalut melihat Wendy yang seperti sebelumnya. Bagai patung.

"Wen," Alam meraih jemari itu agar tidak menutup wajah Wendy.

"Kita harusnya ga ketemu, harusnya ga tegur sapa," kata Wendy dengan gemetar dan tercekat.

Alam mengusap jemari Wendy dengan sebelah tangannya sedangkan sebelah lagi menghapus air mata Wendy.

"Gue benci sama modelan kayak lo, lo tahukan?" Wendy semakin terisak, suaranya masih bergetar.

Alam mengangguk, dia sangat tahu itu. Lewat mata cantik Wendy dia bisa tahu soal itu.

"Ayah gue kayak lo, main perempuan. Dia pukul bunda sampe di bawa ke rumah sakit. Alasannya karena ga kasih izin buat ayah nikah lagi—" suaranya semakin bergetar. "Gue yang masih kecil cuma bisa ngumpet saat bunda di pukul, gue benci lo karena lo mirip ayah! Main sama banyak perempuan, mainin perasaan mereka!" teriaknya dengan tangis yang semakin pecah menyesakan dada.

"Gue ga mau kecewain nenek, bunda sama ayah tiri gue! Lo tega, Alam." sambungnya dengan lemah di akhir.

Alam mengusap air mata beserta ingusnya. Wendy terlihat begitu hancur. Pertama kalinya Alam merasakan perasaan aneh yang mengganggunya seperti saat ini.

Alam terganggu melihat wanita menangis. Seperti bukan dirinya saja yang memang sering membuat wanita menangis.

Alam memeluk Wendy, mengusap punggungnya dengan jantung bergemuruh. Kini dia tahu kenapa Wendy membencinya, Adimas dan Bambang. Bahkan mungkin para hidung belang dan buaya lainnya.

"Semua nasehat nenek selalu gue catet di otak gue, bahkan gue ga peduli di katain kolot, cupu di antara kalian yang bebas. Tapi gue malah—"

"Gue yang salah, lo engga salah sama sekali," potong Alam. "Gue pasti tanggung jawab, Wen. Gue siap bilang ke orang tua sama nenek lo kalau lo sama sekali ga nakal di sini, lo bener-bener patuh sama didikan nenek lo," yakinnya.

Wendy masih saja tidak bisa tenang. "Ga siap liat wajah kecewa mereka, gue mau mati aja," ujarnya dengan ngawur dan tangis yang terus mengalir deras.

"Ga boleh mendahului, Tuhan," Alam jelas tidak suka dengan ucapan Wendy yang terakhir itu.

"Lo tahu apa soal Tuhan, Ha?! Lo bahkan ga pentingin dosa saat lo tidurin mereka! BAHKAN Gue!" Wendy mendorong Alam yang memeluknya itu hingga pelukannya terlepas.

Alam mengatur nafas, dia tidak boleh tersulut. Alam harus paham kalau Wendy tengah kalut. Lagi pula, ucapan Wendy tidak sepenuhnya salah.

"Kita nikah ya? Biar dosa kita ga numpuk, anak kita bisa punya status jelas," Alam menatap kedua mata sembab memerah itu dengan lembut.

"Gue mau aborsi," Wendy menghentikan tangisannya, wajah basahnya berubah dingin tidak tersentuh.

Alam tersenyum kecut. "Tadi lo bahas dosa dan sekarang lo mau aborsi? Apa itu ga dosa?" tangannya terkepal menahan emosi.

Ekspresi Wendy berubah lagi, tangisannya lebih parah dari sebelumnya.

Wendy lebih dulu mendekat, meminta dekapan menenangkan dari Alam. Alam menyambutnya, mengusap punggungnya.

"Sekeras apapun gue tolak, awal-akhir lo tetep harus bertanggung jawab. Lo ayah dari janin ini. Apa lo ga akan kayak ayah?" tanya Wendy dengan sesegukan, dadanya sesak menanggung semua rasa menyedihkan.

Apartemen (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang