"Asa ayo ke psikiater."
"Asa, kita harus ke psikiater, kamu perlu diobati."
"Lebih baik Anda segera ke psikiater."
Semua tekanan itu justru semakin membuat Asa hilang kendali, dia berpikir bahwa semua orang menganggapnya gila. Dengan begitu, dorongan untuk melukai diri sendiri semakin menjadi-jadi.
Asa hanya beranggapan bahwa rasa sakit itu lebih baik daripada beban psikologis yang ia derita. Asa kecanduan, dan kebiasaan itu sangat sulit untuk dihentikan.
Karena tidak mendapatkan benda yang dia cari, Asa mulai menusuk-nusuk tangannya dengan jarum infus sampai cairan merahnya terlihat dan menetes ke lantai rumah sakit.
Nisha sudah menaruh gadis itu di ruangan dua orang agar jika Asa menyakiti diri sendiri dapat langsung diketahui, tetapi ibu-ibu teman kamar Asa malah suka ngilang gitu aja.
Glek! Rey dan ibu-ibu teman sekamar Asa masuk secara bersamaan.
"Ya Allah, Asaaaaaaaaa!" Rey menjatuhkan buah-buahan yang baru saja dia beli, pria yang masih mengenakan seragam sekolah itu bergegas mendekati Asanya.
"Adaaaaa aja tingkahnya," Rey menutup luka baru Asa, wajahnya cemberut pengen nangis lagi. "Cutter, gunting, silet, suntikan, benang, udah dibuang juga sekarang pake jarum infus?"
Rey menengadahkan kepalanya, melihat wajah Asa yang duduk di bibir ranjang dari bawah sana. Wajah Asa terlalu datar, dia seperti tidak memiliki emosi di wajahnya.
Kaki Asa mengayun kecil, rasa bersalah kian menggerayangi hatinya. Detik kemudian, Rey membelai pipi gadisnya lemah lembut.
"Kalau mau nangis, nangis aja, jangan dipendam. Kalau mau marah, marah aja, jangan ditahan. Kalau kesel, lampiasin ke benda lain, jangan ke tangan kamu, Asa."
"Iya, Mbak." Nah, nah, ibu-ibunya mulai lagi nih.
"Jangan suka nyakitin diri sendiri, Mbak. Kalau Mbaknya suka nyakitin diri sendiri kayak gitu, orang-orang yang sayang sama Mbak bakalan ikut tersakiti. Lebih baik berobat, Mbak. Jangan bikin mereka sedih terus, kasian suami Mbak juga."
Nasehat semacam itu, seharusnya tidak pernah Asa dengar. Sekarang Asa justru merasa semakin bersalah, dan semakin membenci diri sendiri.
Mata Asa berkaca-kaca, hal itu membuat Rey geram dibuatnya. Rey menutup kedua telinga Asa agar Asa tidak mendengarkan ocehan menyakitkan yang keluar dari bibir ibu-ibu itu.
"Semoga Ibu cepet-cepet dipanggil Tuhan ya, Bu. Kasian, dosanya makin numpuk kalau kelamaan di dunia."
"Lah, saya kan cuma ngasih tau. Perhatian dikit juga salah lagi, salah lagi, dasar anak muda--"
"Jaga mulutnya, Bu! Kalau nggak tau apa-apa, lebih baik diam! Ibu nggak sadar apa kalau ucapan ibu barusan justru makin nambah tekanan buat Asa saya."
Rey emosi, pengen marah, pengen cekik ibu-ibu teman sekamar Asa. Seharusnya Buna lebih pilih-pilih memilih kamar, ibu-ibu itu terlihat kalem dari luar juga ternyata pedes abiezz.
Asa melepaskan tangan Rey yang menutup telinganya, hatinya sudah terlanjur terluka. Asa hanya beban, hadirnya di sini hanya membuat orang-orang di sekitarnya ikut terluka. Seharusnya ia tidak pernah ada di dunia, terlalu sakit untuk menerima kenyataan pahit itu.
Asa berlari keluar rumah sakit dengan tubuh masih terbalut seragam pasien. Kaki beralaskan sendal kain itu terus melangkah ke sembarang arah, menjauh dari semua orang.
Asa tidak ingin menyakiti mereka, Asa tidak mau menjadi beban mereka, dan Asa lelah terus-terusan dianggap gila.
Rey berlari mengikuti langkah Asa, tetapi dia kehilangan jejak Asa karena terjebak di lift dan kerumunan dokter juga pasien.
KAMU SEDANG MEMBACA
DASA (END)
Romance[COMPLETED] PART MASIH LENGKAP FOLLOW DULU SEBELUM MEMBACA ⚠️ R-16, Selfharm, Sex, Drunk, Violence, Suicide (Harap bijak dalam membaca) Dasa, jika dibaca dari belakang maka kamu akan melihat kata a sad. Iya, sebuah kesedihan. Andhira Dasa Tanaka ad...