DASA 28

62.6K 6.9K 6.8K
                                    

"Bilang Mama kamu, Elvan."

Pria yang kini duduk di depan meja kerja seseorang itu bergeming, bau obat nyeruak sebagai aroma khas tempat itu.

"Atau mau saya bilangin sendiri?" Dokter berhijab itu berkata seperti sedang mengancam pasiennya.

Elvan menggeleng lemah. "Mama nggak perlu tau, kalau Mama tau dia bakalan nyalahin diri sendiri. Sakit bawaan ini bisa bikin Mama kepikiran, saya nggak mau Mama kena serangan jantung. Udah cukup waktu kehilangan Papa aja, jangan lagi."

"Kita nggak tau pasti, El. Aterosklerosis jantung emang seringnya nggak ada gejala, kalau gejalanya mulai kamu rasain itu artinya pembuluh darah arteri udah menyempit."

"Terus saya harus gimana?!" Elvan sedikit membentak, masih tidak terima jika tubuhnya memiliki penyakit bawaan yang menyusahkan.

"Kita beri tahu wali kamu dulu ya--"

"Dokter mau bunuh Mama saya?!" Marah El, emosinya gampang banget kepancing.

"Elvan, ini bukan sakit biasa--"

"Saya tau! Tapi--" Elvan menutup wajahnya dengan tangan, dia terisak pelan.

"Berhenti dulu melakukan aktivitas yang terlalu berat, sebaiknya jangan bermain basket dulu, itu terlalu beresiko buat kamu. Olahraga teratur yang cukup, menjaga pola makan, dan--"

Elvan menggebrak meja. "Saya nggak bisa berhenti main basket! Dokter kan tau kalau basket itu dunia saya? Sebentar lagi saya turnamen--"

"Kondisi kamu jauh lebih penting dari itu--"

Elvan mengambil kotak tulis di atas meja dan hampir melemparnya ke lantai. "Basket jauh lebih penting buat saya!"

"Emangnya kamu mau bikin Mama kamu sakit lagi? Bayangkan, El. Kalau kamu kenapa-napa, Mama kamu bakalan tersakiti dua kali lipat karena dia nggak tau apa-apa soal kamu."

Tangan Elvan menurun, kotak alat tulis itu ia kembalikan ke atas meja. Ucapan dokternya memang benar.

Seseorang akan lebih terluka jika terlambat mengetahui semuanya, mereka akan lebih terpukul dan menyalahkan diri sendiri karena merasa tidak pernah peduli dengan seseorang yang mereka sayang.

Tapi bagaimana? Bagi Elvan, basket itu sama pentingnya seperti Asa, bahkan melampauinya. Basket adalah dunianya sejak dulu, sejak Elvan belum mengenal sex, dia sangat menyukai basket.

Entah sebagai pelampiasan rasa sepinya karena Ibunya terlalu sibuk bekerja, atau karena memang hobi dan Elvan menyukainya.

Lalu, bagaimana jika Elvan dipaksa untuk meninggalkan hal itu? Sudah cukup kehilangan Asa, sekarang basket pun harus ia hindari?

Dunia kecil Elvan terasa baru saja runtuh, iya, diruntuhkan oleh tubuhnya sendiri yang terlalu lemah. Elvan benci itu.

"Biar saya urus sendiri," putus Elvan keluar dari ruangan.

Elvan berjalan keluar dari rumah sakit milik ibunya, beruntungnya ia tidak bertemu Acil sehingga tidak perlu memikirkan berbagai macam alasan ketika ditanyai ini itu banyak sekali.

Wiu! Wiu! Wiu!

Ambulans datang melewati Elvan, lalu berhenti di depan pintu kaca besar UGD yang terletak sejauh enam meter dari pintu utama.

Elvan sempat menoleh ke kiri, tempat ambulans itu berhenti. Detik kemudian, mobil lain datang dan menghalangi pintu ambulans yang mulai dibuka oleh salah satu perawat yang sudah siaga.

Beberapa petugas ambulans bergegas mengeluarkan seseorang yang sedang sangat Elvan rindukan, sayangnya Elvan tidak bisa melihatnya dengan jelas karena terhalang banyak orang.

DASA (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang