Chapter 45

4.6K 316 23
                                    

*siap untuk berpisah?

*siap untuk berpisah?

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

.
.
.

Kamu satu-satunya lelaki yang bisa membuatku melupakan semua kesalahanmu hanya dengan ucapan 'selamat malam'.

~Ilaura Andreena D

Cinta adalah pembodohan? Itu benar dan aku sedang merasakannya. Dimana seribu logika kalah hanya karena satu perasaan yang bernama 'cinta'

~

Mata itu perlahan mulai terbuka, mengerjap sesaat untuk menyesuaikan cahaya yang masuk. Ia meringis ketika kepalanya berdentum saat berusaha menoleh ke kiri. Melihat ke bawah, dimana kedua tangannya sudah dibalut dengan perban.

Ingatan tadi hinggap, membuat air matanya jatuh kembali. Laura terisak karena rasa sesak yang menyerang dadanya. Kenapa mamanya harus diambil? Kenapa takdir seolah menyuruhnya untuk menghadapi kejamnya dunia sendirian.

Sekarang tidak ada lagi tempat menghilangkan rasa lelah setelah pusing menghadapi segala urusan restoran. Tubuh yang sedari kecil ia dambakan untuk dipeluk kini sudah pergi dan Laura hanya diberikan waktu sebentar untuk memeluk tubuh hangat itu setelah menunggu dua puluh tahun lebih.

"Sudah bangun?"

Suara itu membuat Laura menoleh ke arah pintu. Di sana Helen dan Restu masuk dengan nampan ditangan sepupunya.

Restu meletakkan nampan itu lalu duduk di samping Laura, melihat adanya air disudut mata Laura membuat ia tersenyum pilu. Restu mengusapnya. "Jangan nangis lagi, karena sekarang yang dibutuhkan mama kamu itu doa bukan air mata. Ikhlaskan, ini sudah jadi takdir tuhan. Kamu harus bisa menerimanya."

"Laura mau mama ..." Hanya itu yang Laura ucapkan.

Restu tersenyum lembut. "Kakak tahu itu pasti berat, tapi kamu harus mencobanya dan-" Restu menuntun Laura untuk bangkit, ia mengusap dua tangan gadis itu yang terperban. "Jangan pernah berpikir untuk menyakiti diri kamu sendiri, kamu harus kuat dan bisa melawan itu semua."

Helen mengambil tempat di sisi Laura yang kosong, ia memeluk sepupunya dari samping. "Jangan nangis lagi Sis, maaf buat kejadian tadi, gue terlalu kebo sampe gak kebangun waktu sis keluar kamar," ujar Helen menyesal tentunya dengan isak tangisnya.

"Kenapa harus beruntun kayak gini? Tiga hari yang lalu baru aja Laura kehilangan Aris, lukanya belum sembuh dan sekarang harus ditambah dengan kepergian mama? Berikutnya siapa lagi?" tanya Laura lirih.

Titik Jenuh [S E L E S A I]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang