Dua Belas: Kita Layaknya Pasangan yang Bergandengan Tangan, tetapi Tidak

182 20 2
                                    


"Ada kalanya kau akan merasa sendiri, seolah hanya dirimu yang berjuang keras. Lihatlah kembali dia dan sekitarmu, apakah begitu atau hanya khayalmu."

"Ri, apa kusuruh Gun nikah lagi apa ya?"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Ri, apa kusuruh Gun nikah lagi apa ya?"

Pertanyaan Fia sukses membuat refleks tangan Ria melesat bagai Flash, dalam sekejap dia sudah menoyor kepala sahabatnya.

"Kamu, yang kalau jalan sama Gun ada cewek melirik aja udah emosi, yakin bisa poligami?"

"Ya ... daripada adopsi, Ri. Kayaknya pilihan lebih baik. Walau bukan darah dagingku, setidaknya mengalir darah Gun di dalam bayi kami."

"Satu. Yakin tahan berbagi suami? Kamu itu, cemburuannya akut, nggak ada obat. Dua. Yakin itu bakal jadi bayi kalian nantinya? Pastinya, itu akan jadi bayi Gun sama ibu kandungnya lah! Makbiak-nya siapa? Si madu kan?"

"Tapi, Ri-"

"Stop! Kamu itu bukan mandul, cuma belum rejeki aja buat punya anak," potong Ria sambil mengangkat jari telunjuk ke arah sahabatnya. "Mungkin ini emang pertanda untuk kamu perbaiki dulu kondisi mental. Nggak usah buru-buru, kalau rejekinya pasti bakal datang."

Fia masih berkeras dengan pendapatnya. Dia memberikan banyak alasan kenapa ingin punya anak dalam watu dekat.

"Tuhan Maha Tahu. Nggak perlu kita sok tahu mana yang terbaik, Dia udah lebih tahu. Apa pun ketakutan kamu, Tuhan nggak bakal kasi kesulitan di luar batas kemampuan kita." Ria kembali mengangkat jari telunjuk saat dilihatnya Fia ingin membantah. "Silakan berkaca dengan baik. Kalau kamu khawatir karena di usia segini belum punya anak, lihat aku yang sampai sekarang pacar aja nggak ada yang beres. Kurang beruntung apa kamu punya suami kayak Gun?"

Mau tak mau Fia setuju pada sahabatnya walau di satu sisi hati masih ingin segera punya anak. Dia menatap sahabatnya yang sibuk dengan berkas-berkas calon nasabah untuk pengajuan kredit rumah. Kurang cantik apa Ria dengan kulit putih bersihnya dan tinggi seratu enam puluh senti meter. Hidung mancung dan mata tajam, belum lagi cekatan dalam bekerja, mandiri, cerdas. Rambut potongan pixie yang mulai panjang menyentuh bahu tidak mengurangi kecantikan sang sahabat. Harus Fia akui, Ria itu cantik dalam potongan rambut dan gaya apa pun karena memiliki wajah oval dan bentuk tubuh yang proporsional.

Berbeda sekali dengan dirinya yang hanya setinggi 155 senti meter, semeter kotor, jika merujuk pada istilah yang digunakan Windy and the gank, kelompok yang mem-bullynya saat SMA. Selain itu, Fia juga memiliki muka agak bulat karena pipi tembam, hidung pun pas-pasan, tidak pesek tetapi tidak juga bisa dibilang mancung. Walau sering mendapat ranking kala sekolah dan berkulit putih, Fia bukan anak yang selalu percaya diri. Tuntutan sang ayah untuk menjadi sempurna secara akademis sering kali membuatnya terbebani dan takut berbuat salah. Dia tidak berani mencoba kecuali yakin menang, Fia juga tidak pernah mengikuti kegiatan ektrakurikuler selain Pramuka karena memang diwajibkan saat dia duduk di bangku SMA.

Fanwifing [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang