"Setelahsebuah kegilaan, bisa saja ada kegilaan lain menunggu."
Semenjak Fia merajuk dan memilih tidur di Minseok-ui Bang, Gun semakin uring-uringan. Hampir tiap malam dia pulang larut hanya agar tubuhnya lelah sehingga tidak lagi memedulikan keadaan sekitar. Namun, semakin lama kerinduan semakin membuncah. Rumah dan hati semakin kosong karena tidak mendengar ocehan istrinya.
Gun sengaja pulang larut supaya tiba di rumah saat Fia sudah terlelap. Setibanya di rumah, dia berniat mengintip istrinya yang sedang tidur. Setidaknya, kekhawatiranku berkurang, batinnya menghibur diri sendiri.
Perlahan Gun membuka pintu Minseok-ui Bang, menjaga agar Fia tidak terbangun. Niat awal yang hanya ingin mengintip berganti rasa penasaran saat dalam keremangan dilihatnya banyak barang berserakan di meja. Pria itu memicingkan mata dan membetulkan letak kacamata. Merasa tidak yakin dengan penglihatannya, Gun masuk dan mendekati Fia.
Alangkah terkejutnya Gun mendapati kaleng-kaleng bir non-alkohol dan botol kaca yang dia yakin minuman sejenis berserakan di sekitar istrinya. Kamar itu berantakan seperti baru saja terjadi kerusuhan.
Gun menarik dan menghembuskan napasnya berkali-kali, berusaha tenang walau tidak suka dengan apa yang dia lihat. Apalagi, melihat istrinya tidur nyenyak, Gun merasa tidak perlu membangunkan hanya untuk memulai pertengakaran baru.
Dia berinisiatif mengemasi kamar yang berantakan, mengumpulkan semua sampah, dan merapikannya.
"Ngapain ke sini? Keluar!" Bentakan Fia membuat Gun terperanjat.
"Nggak perlu dibantu, aku bisa kemaskan semua besok," tegas Fia saat melihat Gun ingin berbicara.
Gun mengatupkan mulutnya dan berniat, tetapi rasa tanggung jawab terhadap istri membuatnya kembali menghadap Fia.
"Ini nggak benar, Yank. Kita harusnya selesaikan semuanya secara baik-baik." Gun berjongkok di hadapan istrinya.
Merasa tidak mendapat respons, Gun kembali berucap, "Lihat! Kamu udah mulai minum minuman aneh-aneh gini. Kalau lebih lama kayak gini, bisa-bisa kamu nanti jadi pemabuk benaran."
"Gun! Itu bukan minuman beralkohol. Kamu lihat ini." Fia menunjukkan tulisan hangeul di botol kaca. "Hallal soju. Halal, Gun!"
"Terserah! Aku cuma nggak mau kita berlama-lama kaya gini. Aku pusing!"
"Yang minta lama-lama siapa? Mauku kan udah jelas. Aku mau kita pisah! Tinggal talak aja apa susahnya," ejek Fia sambil bersedekap.
Gun mengepal tangan, menahan deburan amarah yang ingin mencuat. "Yank, aku tuh sayang sama kamu. Aku-"
"Kalau kamu sayang, kamu nggak akan biarin aku sendirian. Nggak bakal sibuk sendiri terus malah nyalahin aku untuk kehilangan kita. Kalau kamu sayang, nggak perlu berminggu-minggu, semalam pun nggak bakal kamu biarin aku tidur di sini!"
Rahang Gun gemeretak, napas memburu, tetapi berusaha ditekannya emosi yang ada. Namun ocehan Fia yang seperti tidak habisnya membuatnya memuntahkan kalimat pedas.
"Aku nggak pernah minta apalagi suruh kamu tidur di sini, Yank. Kamu yang tiba-tiba ambil bantal dan selimut terus nggak pindah-pindah dari sini."
"Oh, jadi kalau aku ke sini terus kamu biarin aja gitu. Kenapa nggak sekalian aja kamu biarin aku mati di sini!" pekik Fia lantang.
"Kok, jadi bahas mati segala sih? Ini aku mau ajak kamu balik ke kamar. Ngapain juga ada di kamar sempit penuh barang gini?"
Nyatanya, kalimat Gun membuat Fia berang. Dia mendorong Gun sekuat tenaga untuk mengusir. Meskipun sadar tenaganya tidak seberapa dibanding sang suami, perempuan itu tetap mendorong Gun sekerasnya.
"Kalau aku keluar, nanti pasti salah aku lagi karena nggak berusaha lebih keras bujuk kamu," lirihnya.
Fia tidak memedulikan perkataan Gun dan terus mendesak Gun keluar. Pria itu pun akhirnya mengalah. Dibiarkannya Fia mendorong tubuh tingginya keluar dan menutup pintu.
Alih-alih lega karena berhasil mengusir Gun, Fia malah meraung keras. Gun menggedor pintu, tetapi dia tidak membiarkannya masuk. Malam itu, Gun menunggui istrinya semalaman di depan pintu sampai tertidur di depan Minseok-ui Bang.
Setelah kejadian itu, Gun tidak pernah lagi pulang terlambat. Dia ingin berada di rumah, memastikan istrinya baik-baik saja. Kalaupun terjadi sesuatu, setidaknya Gun menjadi orang pertama yang mengetahui keadaan Fia. Gun juga berulang kali mengetuk Minseok-ui Bang, berharap Fia mau keluar dan bicara, tetapi usahanya hanya berujung pada kesia-siaan.
"Yank ... Keluar dong, kita bicara," pinta Gun untuk ke sekian kalinya. "Atau aku masuk, boleh ya?"
"Nggak usah kalau nggak tulus! Ngajak ngomong juga cuma karena kasihan kan? Itu juga karena bilang kamu udah biarin aku di sini. Kalau nggak gitu, pasti kamu bakal tetap sama kayak kemarin-kemarin."
Gun dapat mendengar jelas suara istrinya yang teredam daun pintu. Dia menggaruk keras kepalanya, kesal karena semua yang dilakukannya salah.
"Aku harus gimana biar kamu mau keluar?" Gun terus menggedor pintu.
Tidak lama, pintu terbuka. "Kamu cuma perlu aku keluar kamar kan?"
Fia lantas turun, membuat roti bakar selai, minum, lalu kembali ke Minseok-ui Bang. Gun kehabisan akal melihat polah istrinya.
Hai, Dears,
Maafkan karena akhir-akhir ini banyakan errornya. Doakan ya, aku kelar nulis buat DRC. Baru tanggal 4, sih, tapi kan bakal terlewat juga kalau nggak dimanfaatkan dengan baik.
Itu aja sih, kayaknya. Terima kasih untuk yang masih setia sama Fia dan Gun.
Salam hangat,
Resda
KAMU SEDANG MEMBACA
Fanwifing [TAMAT]
ChickLitSeorang istri boleh nggak sih, jadi fangirl? Girl kan, artinya gadis. Namun, Fia yang mengalami depresi pasca keguguran memilih kembali menyibukkan diri dengan mengagumi sang bias ketika merasa tidak mendapat dukungan dari orang sekitar, terutama s...