"Cinta adalah energi dan kekuatan. Karena itu, dia tidak akan bisa hilang, tetapi bisa saja berubah bentuk. Biarkanlah cintamu berubah jika itu membawamu pada kebaikan dan menjadikanmu kuat."
Keadaan Fia semakin memburuk. Frekuensi menangis juga amukan meningkat.
"Jadi, kamu mau temanin aku ke psikolog atau nggak?" tuntut Fia.
"Iya, tapi aku berangkat kerja dulu, ya."
"Ini udah yang ke berapa kalinya Gun, kamu bilang mau antar aku. Tapi mana? Keadaanku semakin nggak baik dan aku benar-benar harus ketemu psikolog." Fia menampik kala suaminya ingin merengkuh. "Kalau hari ini kamu nggak bisa, besok pagi-pagi aku pergi sendiri."
"Yank ..."
"Dan kamu nggak boleh protes ke mana pun aku konsul! Kamu nggak tahu kan kalau aku niat bunuh diri minggu lalu?"
Gun mematung sesaat, menatap istrinya tidak percaya. Ia ingin mendekat, tetapi Fia bersikap defensif. Perempuan itu menangis sambil menceritakan kejadian di pantai tempo lalu, membuat suaminya merasa bersalah dan berjanji akan menemani berkonsultasi. Sayangnya, Gun lembur seperti biasa dan lupa menemani sang istri. Saat tiba di rumah, dilihatnya Fia sudah pulas.
Keesokan harinya, tanpa meminta pendapat Gun apalagi ijin, Fia melajukan mobil ke RSJD Sungai Bangkong Pontianak saat matahari baru mulai memendarkan cahaya malu-malu. Perjalanan tiga jam terasa singkat karena tekad bulatnya. Sesampainya di sana, langkahnya mantap menuju bagian pendaftaran.
Fia diarahkan untuk bertemu dengan psikolog rumah sakit. Saat ditanya mengenai masalah yang dihadapi, Fia tiba-tiba saja berkeringat dingin. Sekujur tubuhnya bergetar. Psikolog memintanya menenagkan diri dengan mengatur napas. Setelah sedikit tenang, Fia mencoba memulai cerita. Namun, baru saja akan membuka mulut, sekujur tubuhnya kembali bergetar. Fia menggenggam kedua tangannya dengan harapan bisa lebih tenang, tetapi malah semakin terlihat betapa kalutnya dia karena tangan yang mengepal bergetar hebat.
"Keadaan Ibu sudah parah. Tunggu di sini sebentar ya, saya akan teruskan Ibu ke psikiater," ucap sang psikolog sebelum meninggalkan Fia. Tidak lama dia kembali dan mengantarkan Fia sampai ke poli kesehatan jiwa.
"Silakan menunggu di sini ya, Bu," ujar sang psikolog sambil menunjuk bangku besi yang menyisakan kursi kosong, lalu menunjuk sebuah pintu bertuliskan Poli Kesehatan Jiwa. "Nanti Ibu akan dipanggil ke ruangan yang itu."
Di dalam, Fia kembali kalut dan sekujur tubuhnya bergetar. Psikiater dengan sabar menenangkan sambil sesekali memberikan pertanyaan.
"Ibu mengalami depresi pasca melahirkan. Ini saya resepkan obat, diminum teratur ya, Bu. Setelah habis mohon kembali lagi ke mari untuk dilihat perkembangannya. Jangan lupa, jaga kesehatan tubuh juga pikiran agar depresinya tidak semakin parah. Kembali bulan depan bisa ya, Bu?"
Fia menyampaikan kondisi dan bahwa dia dari luar kota, berharap psikiater bisa memaklumi jika tidak bisa kembali bulan depan. Dikarenakan rumah sakit hanya bisa memberi resep dengan jangka waktu paling lama dua bulan, psikiater memberikan waktu dua bulan dan berharap Fia bisa kembali berkonsultasi agar dapat terus dipantau.
KAMU SEDANG MEMBACA
Fanwifing [TAMAT]
ChickLitSeorang istri boleh nggak sih, jadi fangirl? Girl kan, artinya gadis. Namun, Fia yang mengalami depresi pasca keguguran memilih kembali menyibukkan diri dengan mengagumi sang bias ketika merasa tidak mendapat dukungan dari orang sekitar, terutama s...