"Air." Loen dan Horon menatap Lyra dengan tatapan bingung."Ada apa dengan air?" tanya Loen penasaran.
"Kau ingin buang air? Nomor satu atau nomor dua?" sambung Horon sambil meneliti wajah Lyra yang masih terus memucat. Lyra menggeleng dengan senyuman tipis di wajahnya.
"Aku ingin air untuk minum, apa kalian memilikinya?" Loen beralih menatap Horon dengan tatapan bertanya.
"Hei, kenapa matamu seperti itu padaku? Aku bukan penduduk Excibis ini! Jangan menatapku seakan aku adalah tuan rumah yang tidak mempersilakan tamunya untuk minum!" ucap Horon tak senang dengan tatapan kedua orang di depannya. Baik Lyra maupun Loen tertawa kecil dibuat ekspresi lucu pria berkulit khas Eropa itu.
"Aku tidak sedang menyelidik, Horon. Aku hanya ingin memastikan bahwa kau tahu sesuatu tentang air di negeri ini karena kau lebih tahu seluk beluknya," ucap Loen menjelaskan.
"Aku tidak tahu, tapi mungkin kita akan bisa menemukannya jika mencari di sekitar sini," ucap Horon akhirnya.
"Kau berani di sini sendirian?" Lyra mengganguk mengiyakan.
"Aku tidak akan apa-apa jika kalian tidak benar-benar meninggalkanku," canda Lyra, Loen melepas genggamannya dan mengacak rambut Lyra sebelum bangkit.
"Cih! Bisakah kalian hentikan adegan seperti ini?! Kalian mengotori mata polosku, lagian ini itu alam yang mencekam, bagaimana kalian bisa se-intim itu?!" tanya Horon gemas dengan tingkah LL Couple yang sudah seperti pasangan di matanya. Loen menarik Horon menjauhi Lyra dengan segala pikiran negatifnya. Sejauh ini Loen melindungi Lyra layaknya kasih sayang seorang kakak ke adik. Loen ingin melindungi Lyra karena Lyra mengingatkannya bagaimana dirinya berlaku saat di alam sadar dulu. Dia adalah anak egois yang selalu ingin menang sendiri padahal memiliki seorang adik angkat yang sangat menyayanginya dan Lyra adalah caranya untuk kembali ke jalan itu dengan baik, ke jalan yang akan membawanya bisa memperbaiki hubungan dengan adik yang selalu Ia sia-siakan itu, pulang.
Sepeninggalan Loen dan Horon, Lyra mencoba menyandarkan tubuhnya ke pohon berdaun merah di dekatnya. Rasa letih membuat Lyra ingin mengakhiri semuanya dengan mencoba tertidur dengan harapan siapa tahu dengan tertidur dia bisa kembali ke alam sadar lagi. Diliriknya arloji di tangannya berharap tahu waktu saat ini, tapi itu sia-sia karena arloji itu hanya sebagai hiasan saja, tak ada waktu di Excibis layaknya hari yang kini Lyra sadari bahwa sejak Ia tiba, suasana alam selalu sama, tidak ada pergantian siang atau malam, matahari yang bersinar aneh itu terus ada dan membuat Excibis menjadi terang 24 jam perharinya. Ahk, memikirkan hari, Lyra bertanya-tanya apakah Excibis memiliki hari jika waktu saja mereka tidak punya.
Memikirkan itu membuat Lyra mengembuskan napas berat sambil berbaring menatap langit yang berbentuk spiral yang rumit. Mereka memutar dan berlipatan dengan indah sekaligus memusingkan.
" ... mereka menculik alam bawah sadar kita ...."
Potongan ucapan Loen beberapa waktu yang lalu membuat Lyra seketika bangkit dari berbaringnya karena merasa ngeri dengan apa yang baru saja ia pikirkan.
"Alam bawah sadar? Apa mungkin kalau saat ini kami berada di dalam otak kami sendiri? Hei tidak mungkin, tapi jika iya, bagaimana caranya pulang, ahh ralat, bagaimana caranya bangun?" lirih Lyra mulai panik. Saat itulah Lyra dikejutkan dengan sebuah gambaran kejadian yang sedang terjadi pada dunia nyatanya.
"Lyra, ayah minta maaf. Ayah ... ayah dan ibu sangat egois dengan membiarkan Liran menetap di ruangan pengap ini, itu karena ayah tak tahu cara menyelamatkannya. Ayah ... ayah hanya ingin kau mendengar ayah dan berjuanglah untuk kembali. Jika bisa, bawalah serta kakakmu. Kau harus temukan Liran! Dia mungkin sedang benar-benar tersesat." Ayah menangis, Lyra ingin menyentuhnya, Lyra ingin mengatakan bahwa ia baik-baik saja dan akan pulang, tapi Lyra tahu itu hanya keinginannya, atau tepatnya keinginan otaknya, sedangkan tubuhnya tidak sinkron, mereka diam tidak ingin bergerak sama sekali. Lyra menangis merasakan itu, Lyra merasa inilah yang kakaknya rasakan selama tersesat di dunia ini, atau bahkan inilah yang orang-orang sedang koma alami saat ingin kembali. Mereka hanya bisa mendengar dan merasakan tanpa bisa terbangun apalagi berkata-kata. Lyra menangis sesenggukan mengingat betapa Ia sangat kasar pada kedua orang itu sebelum berada di sini. Bagaimana mereka terdiam saat Lyra membentaknya, bagaimana ... bagaimana mereka menekan rasa bersalah itu selama 2 tahun karena merasa sakit saat tidak bisa berbuat banyak pada putra kesayangan mereka yang tergeletak tanpa kesadaran. Lalu apa yang Lyra lakukan, dia hanya menambah luka di hati itu, luka yang menambahi rasa frustasi, menambah rasa kehilangan semangat hidup mereka terlebih saat dia datang kondisi yang sama dengan Liran sekarang.
"Ayah ... ibu, maafkan Lyra. Lyra janji akan berusaha kembali dan mencari Liran lalu kembali bersama, tunggu kami tanpa kehilangan harapan, tuntun Lyra agar bisa menemukan jalan pulang. Di sini menakutkan ayah, tak ada keramahan dan kenyamanan, dunia di sana adalah yang terbaik," lirih Lyra terisak parah sambil menekan luka di kakinya yang terasa perih walau darah sudah berhenti sejak beberapa menit yang lalu.
Saat sibuk menatap lukanya, Lyra dikagetkan dengan suara berderak dari arah belakangnya. Dengan waspada Lyra mencari sumber suara, tak ada yang terlihat tapi Lyra yakin ada sesuatu yang sedang mendekatinya. Lyra menggapai batang kayu yang cukup besar tak jauh darinya dan memasang kuda-kuda waspada jikalau tiba-tiba ada seseorang yang ingin mengejutkannya.
"Loen?" panggil Lyra nyaris tak kedengaran karena gadis itu sendiri ragu apa dia harus memanggil atau diam saja. Namun Lyra terdiam saat merasakan atmosfer sekitarnya berubah, terasa senyap mencekam. Bahasa suara burung tak satupun yang terdengar. Lyra bergidik saat ingatannya akan sebuah quotes yang pernah Ia baca 'Tenang sebelum badai' dan kata-kata para penjelajah hutan 'Jika alam tiba-tiba senyap bahkan tanpa suara burung, waspadalah ... karena sesuatu yang sangat berbahaya sekaligus berkuasa dan sangat besar sedang berada di sekitarmu.' Kata-kata membuat Lyra semakin mencengkeram kuat adalah kayu yang ada di tangannya.
Lyra semakin maju untuk memeriksa, tiba-tiba bulu kuduknya seakan meremang saat ada suara geraman tertahan dari arah belakangnya, di mana tanpa berbalik pun Lyra dapat merasakan bahwa ada seseorang yang sedang berdiri di belakangnya. Dengan takut-takut Lyra berbalik dan mendapati seekor beruang hitam besar sedang menatapnya dalam kebencian, dan saat Lyra akan lari, satu pukulan di leher belakangnya membuat Lyra terjatuh lemas dan kehilangan kesadarannya di mana sebelum dunianya benar-benar gelap, Lyra dapat merasakan sesuatu yang sangat besar itu tengah menyeretnya dan melemparnya ke tanah di mana para tahanan yang kabur ada di sana kecuali Loen dan Horon, sampai akhirnya dia pingsan, kalah oleh rasa sakitnya.
Loen dan Horon baru saja kembali dari pencarian mereka akan air, dan keduanya terlihat membelalak saat melihat gelang Lyra tergeletak di tanah dan jejak bekas tarikan tubuh Lyra tercipta di antara dedaunan.
"Bagaimana ini, Horon? Sepertinya mereka membawa Lyra, di mana kira-kira mereka akan menempatkan Lyra kali ini?" tanya Loen, Horon hanya diam berpikir.
"Kita harus segera ke gedung pusat distrik 9, cepatlah sebelum terlambat, sebelum Lyra benar-benar menjadi satai!"
( .... )
KAMU SEDANG MEMBACA
Excibis City✔
Fantasía(Fantasy) "Ketika hayalan menjadi petaka" "Berhati-hati dengan hayalanmu, semakin kau terbuai olehnya, semakin mudah kau diculik oleh mereka" Saat kau telah tenggelam, sangat sulit menemukan peluang untuk kembali. Berbicara sebuah kehilangan, ya...