1. Dia Geby

96 23 0
                                    

Sebelumnya Terimakasih sudah mau mampir dicerita Collab Saya dan Tikazch
  
_______________

Bocah berusia lima tahun itu, tiba-tiba menangis. Para anggota keluarga yang sedang berkumpul dan saling berbagi tawa, seketika terheran.

"Geby ... Geby kenapa?" tanya wanita yang duduk di samping bocah itu.

Bocah yang dipanggil dengan nama Geby itu, mendongak dengan air mata yang masih berderai. Bibirnya yang imut, bergetar. Tangannya yang sedang memeluk boneka itu, turut bergetar takut.

"Mereka di sini." Suaranya yang serak, membuat keadaan hening dan seperti mencekam tanpa sebab.

"Geby tau, Ma. Mereka di sini." Lagi, suara itu berubah menjadi lirihan. Bocah itu mengedarkan pandangannya pada seluruh anggota keluarga besar. Tubuhnya semakin bergetar kala matanya bertubrukan dengan mata sang kakak sepupu.

"Kita gak sendiri," desisnya dengan mata kian memerah.

"Agatha! Anakmu merusak suasana bahagia saja! Bawa dia masuk!" gertak Daniel--kakak Agatha--penuh emosi.

Agatha meringis, kemudian mengangguk perlahan. Ia kemudian membawa Geby ke dalam gendongannya dan masuk ke dalam rumah mewah itu.

Agatha membawa anaknya ke dalam kamar tamu. Saat ini, mereka sedang merayakan ulang tahun ibu Agatha di Bandung. Dan Agatha tak menyangka, acara yang tadinya menyenangkan itu, berubah mencekam hanya karena tangisan Geby. Padahal menurutnya, itu adalah hal yang wajar. Geby masih berusia lima tahun, umur yang pas untuk rewel dengan ini dan itu.

"Geby, gak pa-pa kalo Mama tinggalin di sini?" tanya Agatha lembut, setelah membaringkan anaknya di atas kasur.

Geby menggeleng dengan mata memerah. "Mama di sini aja, di sini lebih aman," gumamnya parau.

Agatha menggigit bibir bawahnya, apa ia bisa meninggalkan acara ibunya? Daniel pasti memarahinya.

"Ma ...." Panggilan Geby, membuat Agatha tersentak dari lamunan. "Geby ngerasain hal aneh di dekat, kak Elija," tuturnya sembari memilin ujung baju milik Agatha.

Agatha tersenyum tipis, kemudian mengelus surai lembut milik Geby. "Geby liat apa, hm?" tanya Agatha, menatap manik lucu milik Geby.

Geby terlihat mengerjap, kemudian menggeleng. "Geby gak liat apa-apa di sana. Tapi ... Geby ngerasain sesuatu."

Agatha terkekeh. Entah ia harus bersyukur, atau kasihan dengan keadaan anaknya. Ini sudah terjadi sejak Geby masih berusia dua tahun, ia selalu menceritakan hal aneh pada Agatha. Bahkan, Geby sudah lancar bicara saat ia hampir menginjak dua tahun. Pemikiran Geby juga kadang membuat Agatha dan suaminya terkagum, usianya lima tahun, tapi dia seperti orang dewasa.

°°°°

Memasuki SD, Geby dijauhi teman-temannya karena dianggap aneh. Dia sering sekali merasakan muntah tiba-tiba, menangis tiba-tiba, pingsan tiba-tiba, bahkan berteriak tiba-tiba.

Atas pembulian yang Geby alami, Agatha dan suaminya--Lukas--memutuskan untuk menyekolahkan Geby secara home schooling. Sampai akhirnya ia lulus SMP, barulah mental Geby perlahan membaik.

Awal memasuki SMA, semuanya juga tidak berjalan dengan mulus. Karena sudah jarang melakukan interaksi sosial dengan orang lain, Geby tidak berani berkenalan dengan siapa 'pun di sekolah barunya. Ia menjadi penyendiri.

Namun, beruntungnya Geby sudah bisa mengontrol dirinya sendiri. Ia akhirnya paham, semua yang ia alami selama ini, hal-hal aneh yang ia rasakan di lingkungannya, adalah kepekaannya yang berlebih terhadap keberadaan 'makhluk lain'.

Hingga akhirnya, ia bertemu dengan seseorang yang bernasib sama dengannya. Meski berbeda keyakinan, Geby merasa lebih senang ketika bersama gadis itu. Ia merasa lebih nyaman, karena memiliki seseorang yang mengerti keadaanya. Ia bisa merasakan keberadaan 'mereka' dan sahabatnya bisa melihat wujud 'mereka'. Persatuan yang pas.

________________

      Kalo Ada typo Moon maap

We Are DifferentTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang