15. Kunjungan

13 8 0
                                    

Langkah pemuda itu terayun setengah tak ikhlas, ingin mengeluh namun tak tahu dengan cara apa, padahal hanya perihal jam makan siangnya yang tertunda untuk sekedar memenuhi panggilan dari sang wali kelas. Ini sebabnya, dia juga tak ikhlas menjadi pemimpin kelasnya.

Bibirnya sedikit terangkat untuk sekedar menunjukkan keramahan pada adik kelas yang lebih dulu menyapa, kemudian bibir itu kembali bergaris lurus ketika kakinya telah terhenti di depan sebuah pintu dengan papan tertera jelas di atas. RUANG GURU.

Pintu itu sedikit terbuka sehingga tak perlu banyak tenaga untuk membukanya lebih lebar. Pemuda itu mengucapkan 'permisi' mengambil alih perhatian seorang guru pria yang paling dekat dengan pintu, lantas dipersilakan masuk menuju meja Bu Nana—wali kelasnya.

Kepala Bu Nana terangkat ketika mendengar langkah kaki mendekati mejanya, tersenyum tipis ketika mendapati perawakan murid kepercayaannya. Kemudian segera mempersilakan, "Duduk, Abi."

Abi mengangguk saja, kemudian menurut duduk di kursi yang berhadapan langsung dengan wali kelasnya itu. Membuat seluruh perhatian Bu Nana tertuju padanya.

"Bagaimana harimu, Abi?"

Bibir Abi sedikit terbuka, tak percaya bahwa wali kelasnya berbasa-basi. Dia pikir, Bu Nana adalah tipe orang yang suka to the point.

"Ibu merusak jam makan siang saya," jawab Abi, berusaha tak terlihat kesal.

Bu Nana terkekeh geli. "Kamu tampaknya cepat sekali berbaur. Caramu menjawab pertanyaan saya, persis sekali seperti jawaban yang akan diutarakan anak-anak itu."

Kening Abi mengerut, ia mendengus malas saat kemudian mengerti anak-anak itu yang dimaksud oleh Bu Nana.

"Saya sudah mendapat kabar tentang percobaan bunuh diri yang dilakukan oleh Januar—teman sekelasmu." Arah pembicaraan Bu Nana mulai serius, mengundang tatapan serius juga dari Abi. "Sampai sekarang dia belum juga siuman karena sempat kehabisan napas selama beberapa detik." Tatapan Bu Nana berubah menjadi prihatin.

Abi tak mengerti, harus dengan cara apa ia merespon. Ia hanya diam, membiarkan Bu Nana berbicara hingga intinya. Bukannya tidak punya rasa empati, tapi kalau boleh jujur, saat Bu Nana membicarakan kondisi Januar, pikiran Abi masih tertuju pada nasi gorengnya di kantin yang belum sempat ia habiskan.

"Saya harap, kalian bisa mengunjunginya."

Ucapan Bu Nana kali ini, berhasil menarik kembali Abi pada keadaan di sekitarnya—ia bukan lagi di kantin bersama nasi gorengnya. Abi mengulum bibir, dia ingin melayangkan keluhan. Karena Abi rasa, sulit melawan ego para anak di kelas itu. Sepertinya, mereka hanya akan peduli, pada apa yang seharusnya urusan mereka.

"Kamu ... bisa membujuk mereka, bukan?"

°°°°

"Apa gue harus bolos les demi hal yang ... bukan urusan gue?" Vio melayangkan tanya. Tetapi, lebih condong kepada protesan.

Mila mendengus keras-keras, seolah ingin semua orang tahu bahwa dirinya kesal. "Buang-buang waktu aja!" ucapnya setengah teriak. Ia berdiri, segera menyandang tas berwarna lylac di punggungnya. Bersiap untuk pulang karena bel sudah berdentang beberapa menit yang lalu.

Mereka semua tertahan di sini karena Abi—lebih tepatnya karena usulan alias perintah Bu Nana.

"Sorry, gue gak bisa ikut." Suara Safira melayang di udara dan sampai ke semua telinga, lalu mengundang tatap seisi kelas. Mungkin mengerti karena Safira masih tidak suka dengan ucapan Junior sebelumnya.

Baru saja Safira hampir mencapai pintu, kehadiran Bu Nana segera menghentikan geraknya. Semua terkejut, namun lebih terkejut lagi ketika Safira berani mengambil langkah melewati Bu Nana begitu saja.

Bu Nana tidak memalingkan wajah untuk sekedar melihat pergerakan Safira, ia malah bersedekap dada untuk melihat muridnya yang tersisa dengan jumlah yang lebih banyak dari—safira—satu yang pergi.

"Siapa lagi yang mau pergi dengan tidak sopan?"

Suara dingin Bu Nana menguar, meredam keberanian yang tadinya berapi-api, lebur dan menyisakan keterdiaman yang membuat guru itu menyeringai. Puas merasukinya ketika seisi kelas saling tatap dan saling berbisik untuk membatalkan segala les dan rencana demi mengunjungi teman yang sakit—untuk pertama kalinya mereka punya simpati—walau terpaksa, namun Bu Nana tersenyum semakin puas.

°°°°

Junior menganga tak percaya, mendapati enam belas murid dengan seragam yang masih lengkap, berdiri berjejer di depan ruangan saudara kembarnya.

"Hey!" panggilnya dengan teriakan tertahan, langsung saja mendapati tatapan serempak dari 'teman sekelasnya' yang membuatnya makin tak percaya.

"Ka-kalian ngapain?"

"Mandi." Jawaban asal dari Novan justru membuat Sagitarius dan Vanes terkikik geli.

Junior merengut, berjalan lebih dekat pada keberadaan enam belas remaja sebayanya itu. Ia ingin melempar tanya lagi, namun tertelan kembali ketika Aldo dengan tatapan datarnya menyerahkan parcel buah dengan kasar dan membentur dadanya. Junior bukannya meringis sakit, malah planga-plongo dengan tangan gemetar yang akhirnya menerima. Makin bingung berekspresi ketika parcel buah lainnya disodorkan Geby dengan lebih ramah.

"Semoga Januar cepat sembuh." Junior menoleh dan tersenyum sambil mengangguk pada Abi.

"Makasih."

"Tapi, serius gue penasaran. Januar ada masalah apa sampai mau bunuh diri gitu?" Naomi bertanya tanpa takut-takut, sekedar menjaga perasaan Junior.

Junior mengeratkan pelukannya pada dua parcel buah yang dibawa 'teman sekelasnya', menatap ragu pada semua mata yang seolah terwakilkan dengan pertanyaan Naomi.

"Gue .. takut salah ngomong, lagi." Junior mengulum bibirnya setelah ucapan itu lolos.

"Tenang aja, Safira gak ada di sini." Gil menyahut, seolah mengerti keraguan dari ucapan Junior. Pemuda itu akhirnya memilih duduk tanpa dipersilahkan di kursi tunggu yang ada di depan ruangan itu. Diikuti siswa yang lain—hanya saja mereka memilih selonjoran di lantai. Merelakan para siswi untuk duduk bersama Gil di kursi.

Junior menatap kembali seluruh 'teman sekelasnya' yang kini duduk. Ia akhirnya ikutan selonjoran di lantai sambil bersandar pada tembok.

"Semenjak Shania meninggal, sikap Januar ke gue beda. Dia kayak berusaha menghindar, atau lebih tepatnya nyembunyiin sesuatu." Junior menarik napas dalam-dalam kemudian menghembuskannya. "Setiap kali gue tanya, dia selalu bilang kalo dia baik-baik aja. Padahal, ekspresinya sama sekali gak baik-baik aja.

"Sampai akhirnya, tadi pagi pas gue mau berangkat sekolah, sesuatu yang aneh terjadi." Suasana semakin hening, seolah tak ingin mengganggu cerita Junior. "Gue liat dia angkat telepon dari seseorang, dan setelahnya dia malah cemas. Dia bahkan bilang kalo dia gak mau ke sekolah karena lagi gak enak badan.

"Sebelum benar-benar berangkat, gue mau mastiin kalo sakitnya gak parah, tapi yang gue liat malah dia yang udah ... tali itu ... kaki dia nendang udara ... dia—"

"Jangan dilanjutin lagi." Bumi tidak tahu kenapa dia bisa punya rasa prihatin seperti ini, tapi setidaknya dengan begini dia tidak terlalu dianggap aneh lagi dengan julukan 'patung berjalan'.

"Terus, kenapa lo bisa yakin kalo ini ada hubungannya sama ... Shania?" Iqbal sepertinya masih mau tahu lebih dalam, tapi hal itu justru membuat Geby mendengus geram. Apalagi setelah melihat pancaran amarah dari dalam mata Junior.

"Januar dapat teror pesan dari nomor gak dikenal sehari setelah Shania meninggal."

"Apa isi pesannya?" Naomi menyambar tak sabar.

"Kau tau rahasianya, maka kau juga harus dimusnahkan." Junior mengulang kalimat yang ia baca dari ponsel pintar saudara kembarnya dengan nada rendah, seolah hanya ada amarah tanpa ampun di sana.

"Rahasia? Apa ... rahasia yang dia maksud berhubungan dengan kasus Shania?" Aya yang sedari tadi diam, akhirnya menunjukkan eksistensi lewat pendapatnya.

"Terlepas dari itu, ada satu pertanyaan yang hinggap di kepala gue." Helena bersuara cemas. "Apa teror itu hanya untuk Januar, atau ... for all of us?"

To be continue

We Are DifferentTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang