4. Mereka Di Sini II

30 17 3
                                    

________

Malam yang tenang di keluarga Gava. Gadis berhijab itu, terlihat lahap menyantap makanan buatan sang bunda. Siti yang melihatnya, terkekeh sambil geleng-geleng kepala. Sementara Ibnu, terus fokus dengan makanannya.

"Gimana sekolah kamu?" tanya Siti, setelah meneguk air.

Aya yang hendak memasukkan nasi ke mulutnya, menghentikan gerakan tangan. "Baik, Bun," jawabnya, buru-buru melahap nasi di depan mulutnya.

"Alhamdulillah," spontan Siti. Ia melirik Ibnu yang sudah selesai dengan makannya, dan wanita itu segera membereskan meja. Kebetulan juga, Aya juga baru saja selesai dengan makanannya.

"Masih ada 'makhluk' yang suka gangguin kamu?" tanya Ibnu.

Mendengarnya, Aya terkekeh. "Masih dong, Yah."

Ibnu manggut-manggut, sembari tersenyum samar. Putrinya sudah remaja sekarang, padahal seperti baru kemarin, ia beserta istrinya menenangkan bocah yang menangis dan mengeluh karena bakat yang ia punya.

BRAK!

Aya dan Ibnu tersentak, mendengar bunyi seperti benda besar yang jatuh dari arah luar. Siti yang sedang mencuci piring di dapur, pun berlari ke arah suami dan anaknya dengan tergopoh-gopoh. Tak lama, bunyi berisik beberapa orang juga mulai terdengar dari sana. Ibnu segera berdiri, dan keluar untuk menuntaskan rasa penasarannya. Diikuti Siti, kemudian Aya dengan kalem.

Dan yang terjadi di luar adalah, kecelakaan tunggal yang dialami oleh seorang pemuda. Ibnu meringis ngilu, melihat motor pemuda itu yang terlempar jauh dan sudah hampir tak berbentuk itu. Sementara si pengendara, sedang terkapar kesakitan dengan luka di lengan dan dahinya.

Beberapa warga yang kebetulan sekompleks dengan keluarga Gava, segera memapah pemuda itu untuk duduk di trotoar. Ibnu, Aya, dan Siti turut mendekati pemuda itu dengan prihatin.

"Biar saya bawa ke rumah sakit saja," usul Ibnu, yang langsung disetujui oleh yang lain. Sementara pemuda itu hanya manut-manut, karena rasa sakit yang ia alami.

Ibnu berlari tergesa ke arah rumahnya, untuk mengambil mobil. Sementara, kerumunan para warga mulai bubar. Meninggalkan Aya dan Siti yang menemani pemuda itu, sampai Ibnu datang mengendarai mobilnya.

Siti segera memapah pemuda itu untuk masuk ke dalam mobil mereka, tepatnya di kursi penumpang belakang.

"Aya! Ikut Ayah, anterin dia," ajak Ibnu dari dalam mobil, sedikit mengeraskan suaranya.

Aya menggembungkan pipinya, sebenarnya merasa ragu untuk ikut pergi ke rumah sakit. Bukan apa-apa, rumah sakit adalah tempat yang membuatnya pusing setengah mati. Ada banyak sekali 'mereka' dengan wajah mengerikan di sana.

"Udah, ikut aja. Kalo ada apa-apa, 'kan ada Ayah." Siti kemudian meyakinkan putrinya.

Aya menoleh, tersenyum tipis kemudian mengangguk. Ia segera memasuki mobil, dan duduk di kursi depan--di samping Ibnu.

Mobil akhirnya berjalan meninggalkan kompleks itu. Semuanya tampak baik-baik saja, sampai saat mobil itu tiba di perempatan, dan harus berhenti sejenak karena lampu merah.

"Jangan bawa saya ke rumah sakit, Om." Ibnu menoleh, mendengar pemuda itu akhirnya bicara meski dengan sedikit ringisan.

"Lalu, saya harus bawa kamu ke mana?" tanya Ibnu bingung. "Luka kamu cukup parah, saya harus bawa kamu ke rumah sakit biar ditangani," lanjut Ibnu, melirik pemuda itu dari kaca mobil.

Pemuda itu terlihat menggeleng. "Tolong bawa saya ke rumah saya saja, Om. Mama saya dokter, biar dia yang mengobati saya," pinta pemuda itu.

Ibnu menghela pelan. "Baiklah." Pria paruh baya itu, melihat lampu yang kini berganti menjadi warna kuning. "Jadi, rumah kamu di mana?" tanyanya.

Pemuda itu kembali meringis, sebelum akhirnya menjawab, "lurus aja, Om."

Ibnu mengangguk sekali, setelah lampu berubah menjadi warna hijau, ia segera tancap gas. Sementara pemuda itu mengarahkan Ibnu ke kompleks dengan perumahan elite dan Ibnu mengikuti, lalu Aya hanya diam menikmati perjalanan itu.

Mobil Ibnu berhenti di depan sebuah rumah megah dengan gerbang yang tinggi. Pemuda itu, sepertinya tak ingin merepotkan ayah dan anak itu lebih jauh lagi. Jadi, ia memilih untuk turun dari mobil sendiri. Ibnu dan Aya turut turun, lebih baik membantu pemuda itu hingga benar-benar masuk ke rumahnya. Karena, pemuda itu baru saja kecelakaan dan mengalami luka cukup parah. Kasihan juga.

Pintu gerbang yang tinggi itu, dibuka oleh seorang satpam saat menyadari Tuannya sudah pulang, meski dengan orang lain dalam keadaan terluka. Ibnu mendekati pemuda itu, dan memaksa memapahnya ke dalam. Menolong orang jangan setengah-setengah. Sementara, Aya hanya mengekor dari belakang.

Setelah tiba di teras, pemuda itu mengucapkan terima kasih pada Ibnu yang segera dibalas 'sama-sama'. Tanpa Ibnu tahu, putrinya kini telah melihat sosok lain di sini. Wanita berambut panjang dengan dress putih sebetis itu, menatap nyalang ke arah rumah ini. Dia berdiri di samping pos satpam di sana.

"Yah, ayok pulang," ajak Aya dengan suara berbisik, karena mulai merasa tak nyaman.

Ibnu tersenyum paham. "Iya," balasnya, pelan. Ia menoleh ke arah pemuda yang kini menatap mereka bingung. "Kami pamit, ya Nak. Lain kali, hati-hati kalo berkendara." Ibnu kemudian menggenggam tangan Aya, hendak pergi karena pemuda itu sudah mengangguk.

"Nak ...." Namun langkah keduanya terhenti saat pintu utama rumah itu terbuka, dan suara serak itu menyapa.

"Iya, Pa." Pemuda itu mendekati pria paruh baya itu, dan memegang tubuhnya yang membungkuk beberapa bulan terakhir ini.

"Mereka siapa?" tanya pria itu, memperhatikan Ibnu dan Aya yang mematung. Padahal tadi, sudah pamit.

"Oh, mereka tadi yang nolongin Abi." Jawaban pemuda itu, membuat papanya menoleh dan menyadari luka di wajah dan tubuh sang putra.

"Makasih sudah nolongin Abi," ungkap pria itu tulus, pada Ibnu dan Aya.

Oh, jadi namanya Abi. "Sama-sama, Kek," balas Ibnu, membuat pria itu tertawa garing.

"Saya belum kakek-kakek. Kita ini seumuran," ralatnya dengan senyum ramah.

"Loh?" beo Ibnu. Sebenarnya, bingung karena pria yang seumuran dengannya ini sudah membungkuk. Padahal usia mereka tidak tua-tua amat.

"Kami juga gak paham, Om." Sepertinya, Abi akan menjelaskan. "Beberapa bulan yang lalu, Papa mengeluh punggungnya sakit. Mama sudah mencoba memeriksa, tapi tak menemukan penyakit apa 'pun. Kami pikir, itu hanya karena Papa kecapean saja. Tapi, sakit punggungnya kini sudah sampai hampir enam bulan." Abi berterus terang.

Aya menahan napasnya, di pijakan. Sepertinya, keluarga ini harus tahu sesuatu. Kasihan sekali dengan pria yang seharusnya masih segar bugar seperti Ibnu, malah harus tersiksa tanpa alasan yang bisa dicerna baik oleh akal sehat manusia.

"Om," panggil Aya pelan. Semua pandangan tertuju padanya, padahal ia hanya memanggil pria itu.

Aya menelan salivanya, sempat melirik Ibnu dan Abi juga sejenak. Ia menatap lurus mata pria itu, agar ucapannya beberapa detik ke depan, bisa dipercaya.

"Ada 'sesuatu' di punggung, Om."

"Hah?" heran pria itu.

"Om ketempelan."

Setelah kalimat itu lolos, Ibnu segera menarik pergelangan tangan anaknya. Seharusnya, mereka sudah pulang dari tadi. Bukannya malah membuat Aya melihat 'mereka'. Ibnu hanya tak ingin, orang lain menganggap putrinya aneh seperti yang sudah-sudah. Padahal Ibnu tahu dan percaya, tapi orang lain memanglah tetap orang asing yang tidak bisa percaya begitu saja, apalagi pada hal di luar nalar.

Sementara lengannya ditarik dan dituntun keluar dari kediaman ini, mata Aya melirik sekitarnya dengan perasaan yang mulai tak tenang. Makhluk-makhluk itu, kini muncul dalam jumlah yang membanyak setiap detiknya. Perut Aya hendak mengeluarkan muntah, menatap wajah dan tubuh dari 'mereka' yang sudah hancur dan mengeluarkan belatung.

Aya tahu betul, ada yang tidak beres di rumah ini. Memang, setiap tempat memiliki 'penghuni lain' tapi, hawa di sini berbeda.

Mereka di sini.

Karena hal berbeda.

____________.

Salam Manis
ye
Can.

We Are DifferentTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang