14. Terdiam

12 8 0
                                    

Gadis manis dengan balutan hijab itu membuka gerbang dengan hati riang. Awan tampak bergelung, menampilkan mendung. Mungkin hujan sebentar lagi turun, dan gadis itu menyukainya. Bau Pertichor yang dihasilkan setelah awan menangis, adalah bau paling menenangkan menurutnya. Dia benar-benar semangat menjalani hari ini.

Klakson mobil yang nyaring menyambutnya saat pintu gerbang kembali ia tutup, ia membalikkan tubuh dengan cepat, dan mendapati tangan Abi melambai dari jendela mobil yang terbuka. Tanpa disuruh, gadis yang tak lain adalah Aya, segera membuka pintu mobil bagian depan dan memasuki mobil mewah itu.

Meninggalkan gadis lain yang terdiam di kejauhan.

°°°°

"Geby!" Tangan Aya melambai saat melihat perawakan sahabatnya yang baru saja muncul di pintu kelas.

Geby melempar senyum lebar, masuk kelas dengan riangnya menghampiri Aya yang sudah duduk manis di bangku mereka. Kelas mereka baru saja terisi tiga orang—ditambah Geby menjadi empat—sehingga Aya tak segan berteriak seperti itu. Ada Abi yang kini turut memperhatikan pergerakan Geby yang kini sudah duduk di samping Aya, ada Laskar yang sedang memejamkan mata dengan kepala di atas mejanya, dan ada Aya yang senyumnya tak pernah luntur semenjak memasuki kelas.

"Senyum mulu, Ya. Gak kerasukan lagi, 'kan?" Pertanyaan sarkas Geby membuat senyum Aya hilang seketika. Tak sampai tiga detik, senyumnya kembali terbit. Seolah, dia sedang memainkan peran menjadi joker, Geby sampai bergidik melihatnya.

"Aku lagi senang banget hari ini," ujar Aya pelan, karena kini kelas itu sudah berangsur ramai.

Geby manggut-manggut, meraih ikat rambut di saku bajunya dan menyatukan rambut yang sebelumnya ia gerai dan akhirnya menyahut, "Semoga hari ini gak ada kejadian aneh, biar kamu bahagia terus."

Aya menyengir sebagai respon, kemudian bersandar pada bahu Geby. Sementara Geby nampak tak risih dan kini mulai mengambil buku di tasnya dan mulai membaca kembali materi minggu lalu.

Ketika kursi di kelas itu hampir terisi penuh, bel pertanda pelajaran pertama akan dimulai berdentang dengan angkuhnya, harap-harap tak ada kejadian buruk hari ini dan mereka tidak lagi pulang sebelum bunyi bel kembali menyapa telinga.

Bunyi sepatu ber-hak mendekat, membuat mereka menegakkan punggung. Semua mata tertuju pada pintu yang kini telah berdiri seorang guru muda di sana, tersenyum ramah dan kembali melangkah kemudian duduk di singgasana. Satu per satu nama dipanggil, disahuti dengan rapi oleh para murid.

"Januar Abraham!"

Keheningan yang menyahut, mengundang si guru muda yang kini mendongak sekadar mendapati kursi kosong di barisan tengah. Ia meminta jawaban pada murid yang lain lewat tatapan matanya yang berpendar, namun semua menampilkan wajah yang sama tak tahunya. Membuat ia kembali menatap nama-nama yang berjejer di kertas—atas mejanya.

"Junior Abraham!"

Tiada jawaban berarti. Kembar, sepertinya dalam hal 'tidak datang ke sekolah' pun mereka kompak. Si guru pasrah, mencantumkan huruf A pada barisan nama kedua pemuda yang dikenal selalu bersama itu.

Pelajaran dimulai, silih berganti hingga bel kembali berdentang nyaring pertanda jam istirahat telah tiba. Berdiri untuk memberi salam penutup, dan kembali duduk untuk merapikan alat tulis setelah guru keluar.

"GEBY!"

Yang dipanggil hanya satu nama, tapi yang lain turut menoleh. Tukar pandang bingung ketika mendapati pemuda yang tidak hadir dari jam pertama hingga ketiga dan kini berjalan mendekati gadis yang namanya ia panggil dengan napas tak beraturan.

Geby tetap diam di tempatnya, menunggu Junior menghampirinya dan menyampaikan sendiri maksudnya. Hingga pemuda itu berhenti melangkah tepat di samping Geby, ia menatap sejenak teman sekelasnya yang belum sama sekali keluar dari kelas itu kemudian kembali pada tujuannya.

"Bantuin gue, Geb," pinta Junior seperti terburu-buru.

"Bantuin ... apa?" tanya Geby ragu, menatap tak mengerti pada baju kaos hitam yang tampak basah oleh keringat namun seperti diabaikan oleh Junior—si pemakai.

"Januar ... Januar ... nyaris mati."

Bukan hanya Geby, bahkan seisi kelas dibuat membisu. Tak ada yang berani menyahut, hingga Junior kembali bersuara.

"Dia ngelakuin percobaan bunuh diri, padahal gue rasa selama ini dia gak ada masalah apa-apa." Junior bercerita tanpa disuruh. "Tapi, setelah gue periksa kamarnya gue nemuin sesuatu yang bikin gue yakin siapa penyebabnya," lanjutnya sambil menelan ludahnya geram.

"Siapa?" Abi bertanya lebih dulu.

Junior hanya menoleh sekilas pada Abi, kemudian kembali fokus pada gadis di hadapannya.

"Shania penyebabnya."

"Gila, lo?!" bentak Safira lantang. "Dia udah meninggal, tapi masih aja bawa-bawa nama dia. Sebegitu bencinya sama dia?" Safira muak, dan memilih keluar dari dalam kelas itu sebelum emosinya makin meledak.

Tawa miris dengan suara berat terdengar dari bibir Novan. Pemuda itu berdiri, kemudian meledek, "kelas ini makin lama makin gila. Sial apa gue masuk kelas gak masuk akal kayak gini."

Junior yang tadinya tidak ingin berurusan dengan orang lain—selain Geby—kini terpancing. Ia menoleh pada Novan. "Ini gak lucu, ini fakta!"

"Kenapa, lo yakin?" Laskar yang bisanya diam, kini bersuara. Mungkin sudah terlalu muak.

Kali ini, pandangan Junior beralih pada Laskar. "Setan itu, bisa ngelakuin apa aja," jawabnya ambigu. Ia kemudian menatap keseluruhan 'teman sekelasnya' yang tersisa. "Kalian gak lupa sama apa yang terjadi kemarin, 'kan?" singgungnya.

Seolah ucapan itu membangkitkan ingatan pahit yang mungkin tak akan pernah bisa dilupa, semua mengalihkan pandang.

"Kalo gitu ...." Suara Geby menginterupsi kembali pandangan Junior. "Kenapa minta bantuan sama gue?"

"Karena, lo bisa berkomunikasi sama makhluk seperti Shania," Junior menjawab penuh harap.

"Lo gak boleh lupa satu hal, Junior." Geby kembali menyahut, mendekatkan bibirnya pada telinga Junior dengan sedikit berjinjit karena pemuda itu lebih tinggi dari dia.

"Lo yakin kalo orang-orang kayak teman sekelas kita mau ngabisin waktu untuk hal yang sebenarnya bukan urusan mereka?"

"Gue juga bagian dari kelas ini," tambah gadis itu lebih keras.

Geby menjauhkan bibirnya sekaligus tubuhnya, kemudian mengedikkan bahu dengan seringai ketika mendapati wajah Junior pias. Geby tahu, Junior tidak mungkin lupa dengan apa yang pemuda itu sendiri katakan kemarin. Tapi gadis itu bersikap seolah tidak peduli dan malah merangkul bahu Aya kemudian keluar dari kelas.

Meninggalkan seisi kelas yang awalnya penasaran namun akhirnya memilih ikut keluar juga.

Sementara, Junior terdiam.

                       To be continue.

                                                    Salam Manis

                                                                 Ye
                                                                    Can

We Are DifferentTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang