20. Rahasia Rintik Hujan

9 6 0
                                    

Pagi di hari minggu masih sama seperti pagi di hari minggu sebelumnya. Bahkan, gadis dengan rambut sepinggang yang dibiarkan terurai itu sudah hafal apa saja yang akan dia lakukan hari ini. Ketika kakinya baru saja menapak pada salon kecantikan milik ibunya, disambut oleh para karyawan di sana, dan mengangguk santai sebagai balasan.

Kaki jenjang Vio yang terbalut sepatu berhak tinggi itu mengayun ke arah kursi yang sudah menjadi hak paten ketika ia datang ke sini—berada di ujung ruangan dengan desain khusus.

Sesaat setelah tubuhnya terhempas di kursi, pintu depan sana kembali terbuka, menampilkan sosok yang sedikit lebih tinggi dari Vio, sama angkuhnya dengan Vio, dan tentu masih saja cantik meski umurnya sudah berada di penghujung kepala tiga. Vio mendengus malas, baiklah, hari ini ia akan lebih lelah karena harus berdebat dengan wanita itu.

°°°°

"Berhenti, Pak."

Mobil itu sontak berhenti seperti komando yang diberikan oleh si gadis berkuncir satu itu. Ia memeriksa kembali tas selempangnya, memastikan tidak ada barang yang tertinggal, kemudian menoleh ke samping.

"Saya mau ke salon itu sebentar." Telunjuk gadis itu terarah pada salon kecantikan yang berdiri angkuh, lengkap dengan poster wanita yang lebih angkuh di depannya. "Nanti saya kabari kalau sudah selesai."

"Baik, Non." Si Bapak mengangguk sopan, membiarkan anak majikannya keluar dari mobil, lalu dalam sekejap membanting pintu mobil itu.

Dan kembali ke gadis yang kini sudah berada di depan salon, sempat ragu, namun akhirnya mendorong pintu di depannya dengan perasaan seperti mengatakan; tenang, Sisil. Ini tidak akan memakan waktu lama. Lalu setelah pintu berhasil didorong, pandangan pertama Sisil bukannya jatuh pada karyawan yang menyapanya tetapi pada dua perempuan yang tampak sedang berargumen. Yang satu walau cantik, namun Sisil tahu umurnya tak lagi muda, sementara yang satunya lagi seumuran dengannya—Sisil tahu pasti siapa nama gadis itu.

"... bukan berarti kamu harus mengabaikan nilai di sekolah Violet Ratulia!"

Sisil terpaku di sana, ia bingung harus apa di antara perdebatan yang nampaknya masih panas itu.

Vio berdecak sebal, menoleh ke arah mana saja asal jangan beradu tatap dengan wajah sang ibu yang kian memerah penuh amarah. Dan entah semesta berniat mengirim seseorang di pintu sana sebagai penolong atau bukan, Vio kini hanya ingin memanfaatkannya. Memutuskan untuk mendekati gadis yang pagi itu menggunakan kaos putih polos yang kebesaran dan celana berbahan katun kotak-kotak yang juga kebesaran.

"Kalo gitu, aku izin belajar di rumah temen aku," ucap Vio setelah berdiri di samping Sisil. Sisil yang disangkut-pautkan masih diam dengan pikiran yang tak tentu, bingung tepatnya.

Wanita yang sering Vio panggil dengan sebutan ibu itu, mengangkat tinggi-tinggi alisnya. "Dia siapa? Kelas mana?"

Vio belum sempat menjawab saat suara Sisil yang terdengar, "Saya Sisil. Kelas sebelas Sains A, kelas yang sama dengan anak Tante."

Vio menoleh terpana, baru saja mendengar gadis polos itu berbicara dengan lantang. Sisil yang ia lihat saat ini adalah gadis yang sedang berusaha menyelamatkan harga dirinya karena ucapan Tina—ibu Vio yang memang seperti meremehkan dari nada suaranya saat bertanya.

Tersadar akan apa yang terjadi, Vio kembali menoleh pada Tina. "Kelas unggulan juga, 'kan? Berarti boleh izin nginap sekalian di rumah dia? Oke, pasti boleh. Aku pamit." Sejurus setelah kalimat beruntun yang dikeluarkan mulutnya, Vio segera menarik tangan gadis yang jauh lebih pendek darinya itu. Meninggalkan sang ibu yang hanya bisa menghembuskan napas pasrah.

Gadis yang ditarik segera menghempaskan tangan Vio, berhenti tepat di pinggir jalan raya dan mengurut pangkal hidungnya.

Vio tersentak, mengulum bibirnya dan berucap pelan, "Maaf udah ngerepotin." Tapi dengan semangat, ia menyambung, "Dan makasih juga udah bantuin."

Sisil mendongak, mengerjap kikuk dan meraih ponsel di dalam tas selempangnya. Jujur saja, ia bingung dengan ungkapan maaf dan terimakasih yang terlontar dari Vio. Yang dipikirannya saat ini adalah menelpon sang supir, kemudian pulang dan berpikir lagi kemana ia harus mencari tempat untuk menghias diri.

°°°°

"Lo tidur aja di sini. Gue mau cari salon."

Vio terkekeh, entah yang ke berapa kali. "Udahlah, Sil. Ini sebagai ganti rugi. Biarin gue yang make-up in, lo."

Sisil menggaruk dahinya. "Lo ... yakin?"

Vio berdecak kemudian memutar bola matanya, lelah juga membujuk Sisil. "Salon yang lo datangin tadi punya ibu gue. Lo tau itu, tapi masih aja ragu."

"Ya-yaudah. Istirahat, ya. Gue keluar bentar." Vio mengangguk, membiarkan tubuh mungil Sisil berbalik keluar dan menutup pintu kamar itu.

Vio melirik ponsel ditangannya, entah sudah berapa kali ia menelpon Mila namun tak kunjung diangkat, bahkan pesan yang ia kirimkan pun hanya menghasilkan centang satu abu-abu. Padahal, ia ingin menumpang saja di rumah sahabatnya itu. Tak enak rasanya dibantu Sisil padahal keduanya tak begitu dekat meski sudah sekelas sejak kelas sepuluh.

Seolah bebannya terlalu banyak, Vio memilih melepaskannya dengan menghempaskan tubuhnya di atas kasur empuk milik Sisil. Kemudian matanya terpejam, dan tak butuh waktu lama untuk dirinya terlelap.

Vio terbangun sekitar saat matahari sudah hampir beranjak dari singgasana, kepalanya pusing sekali karena tidur terlalu lama. Ia terduduk dan mendapati Sisil yang duduk di depannya dengan tatapan polosnya.

"Kenapa?" tanya Vio agak risih. Tangannya masih berusaha memijit kepalanya.

"Bisa bantu dandanin sekarang? Bentar lagi gue berangkat." Jawaban Sisil membuat Vio segera mengangguk, ia hampir saja lupa.

Sisil membiarkan Vio mencuci mukanya sejenak di kamar mandi, sebelum akhirnya gadis itu kembali dengan wajah lebih segar dan segera mendandani Sisil yang katanya mau ikut acara keluarga. Bicara tentang keluarga, Vio belum melihat siapapun di rumah ini selain Sisil, supir, dan ART. Maksudnya, dimana orang tua Sisil?

"Orang tua, lo lagi gak ada di rumah kah?" tanya Vio, sembari tangannya bergerak untuk memoles lipstik pada bibir tipis Sisil.

"Gak ada." Sisil mengecapkan kedua bibirnya seperti arahan Vio, kemudian melanjutkan ucapannya, "Selalu gak ada."

Tangan Vio yang kini bergerak di rambut sebahu Sisil memelan, "Maksud, lo?" gumamnya, harap Sisil mendengar.

Beruntung, gadis yang sedang didandani itu mendengar. "Mereka sibuk. Just that."

Vio menutup mulut, karena sepertinya Sisil juga tidak berniat bercerita. Tangannya kembali lihai membentuk rambut Sisil sedemikian rupa. Dan hasilnya membuat Sisil bergeming di depan kaca. Ia kini percaya bahwa Vio memang pantas menjadi anak dari pemilik salon itu.

Sisil belum lama pamit, bahkan suara mobilnya baru saja teredam ketika gerimis turun malam itu. Vio berjalan mendekati nakas dan menyantap makanan yang dibawakan ART tadi atas perintah Sisil.

Gerimis hujan berubah menjadi deras yang berisik. Dan Vio suka. Karenanya, ia memilih makan sambil selonjoran di lantai dekat jendela besar kamar Sisil yang berhadapan langsung dengan gerbang rumah seberang. Rintik hujan yang turun tanpa henti, tak membuat pandangan Vio memudar saat sebuah motor berhenti di depan rumah seberang.

Kunyahan Vio memelan saat menyadari pintu gerbang itu terbuka dan menampilkan tubuh jakung seorang pria yang dinaungi payung hitam. Vio memicing, saat tangan si pengendara motor tadi yang berhenti menyodorkan amplop coklat dan lekas diterima si pria berpayung.

Ingatan Vio masih bagus untuk mengingat perawakan dan jaket kulit si pengendara alias adalah orang yang sama dengan pria kemarin yang mengaku sebagai kakak Bu Nana. Dan, penglihatan Vio juga masih bagus meski rintik hujan menghalangi, untuk menyadari bahwa si pria berpayung yang menerima amplop adalah teman sekelasnya.

Laskar Kevanio.

______________________
To be continue

We Are DifferentTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang