28. Masalah Remaja

10 3 1
                                    


Geby tertawa-tawa sambil sesekali menyapu sisa hujan di rambutnya dengan tangannya. Dia menoleh pada Abi yang melakukan hal yang sama-bedanya, Abi tidak sampai tertawa seperti dirinya.

"Sorry." Geby mencicit tidak enak, berhasil membuat Abi menoleh padanya. "Lo gak suka basah kayak gini, ya?"

Abi menggeleng. "Biasa aja. Lo emangnya sesuka ini, ya, sama hujan?" Dia justru melempar balik pertanyaan.

Tentu saja, Geby mengangguk penuh antusias. "Bukan cuman gue, tapi Aya juga suka."

"Oh, ya?" Kali ini, Abi mulai tertarik pada pembicaraan terkait hujan.

"Iya." Kedua sudut bibir Geby terangkat, menampilkan senyum termanis hari itu. "Gue awalnya juga ngerasa biasa aja sama hujan, tapi semenjak ketemu sama Aya, dia nunjukin kalo hujan itu keren. Apalagi, kalo kita diam dan biarin hujan jatuh dengan bunyi yang keras. Kita diam sampai hujan selesai sendiri, habis itu kita diam lagi buat nyium aroma baru dari tanah."

Abi belum benar-benar paham, sampai telunjuk Geby terangkat ke arah bibirnya. Dengan otomatis, Abi terdiam begitu juga dengan Geby. Bunyi hujan yang menghentak bumi di luar mobil, terdengar jelas. Awalnya biasa saja, sampai Abi bisa mengerti bahwa setelah kita diam menikmati hujan, tidak ada lagi suara lain yang dapat menginterupsi. Berirama, syahdu, tidak ada yang bisa menyamai suara hujan.

Geby mendekatkan wajahnya pada Abi dengan binar bahagia yang belum luntur. "Gimana?" Dia bertanya dengan suara bisik yang hampir hilang ditelan hujan.

Abi terkekeh melihat tingkah Geby. Dengan sengaja, dia memajukan wajahnya juga. "Apanya yang gimana?" Dia bahkan menirukan suara bisikan Geby, kemudian tertawa begitu lebar.

Geby gelagapan. Dia memundurkan kepalanya dan segera duduk bersandar pada kursi mobil. Karena Abi masih saja tertawa, Geby memukul bahunya untuk menghentikan tawa itu sekaligus menarik atensi Abi.

"Ayo, jalan!"

Abi mengalah. "Cus!"

Lalu mobil melaju membelah jalanan yang menyepi karena hujan.


Mereka sampai di rumah Abi. Kata Abi, mereka harus mampir sebentar dulu karena ada keperluan, nanti Geby akan diantar pulang setelah keperluan Abi selesai. Lagipula, Abi juga sebenarnya sengaja membiarkan Geby mampir di rumahnya untuk menikmati jamuan di rumahnya. Geby temannya, tidak ada salahnya makan bersama.

Karena hujan belum juga reda, mereka melakukan hal yang mirip seperti sebelumnya. Bedanya, jika tadi mereka menerobos hujan untuk masuk ke dalam mobil, maka kali ini mereka menerobos hujan untuk masuk ke rumah Abi. Lantas ketika berhasil sampai di teras rumah Abi, bukan hanya Geby yang tertawa-tawa tetapi kali ini Abi juga ikut-ikutan.

"Ya ampun ... kok bisa sampai basah gini?" Mungkin karena suara tawa keduanya, mama Abi keluar dari dalam rumah dengan melontarkan pertanyaan penuh kekhawatiran.

Abi dan Geby serempak menoleh. Punggung tegap Abi dapat terlihat jelas di mata Geby, menunduk demi menyalami tangan mamanya. Setelah punggung itu tersingkir, barulah Geby maju dan melakukan hal yang sama. Membuat mama Abi bingung mendapati gadis lain yang dibawa Abi.

"Assalamualaikum, Ma." Abi cengengesan, hampir lupa mengucapkan salam.

Mama Abi mengangguk. "Waalaikumsalam."

"Oh, iya. Ini teman Abi." Abi menyenggol bahu Geby dengan sikunya, berusaha membuat Geby peka akan raut bingung mamanya.

Geby tersenyum lebar. "Saya Geby, Tante."

Akhirnya, mama Abi dapat tersenyum juga setelah sedari tadi menampilkan raut bingung yang kentara. "Oh ... kamu yang sembuhin suami tante, ya? Dia cerita banyak soal kamu, tante sampai penasaran sama muka kamu. Eh, hari ini bisa ketemu langsung. Cantik."

We Are DifferentTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang