25. Malam di Ruang Pesan

9 4 0
                                    

Pemuda itu terbangun saat bunyi alarm berbunyi. Ia menarik napasnya perlahan kemudian mematikan alarm dan memutuskan untuk membasuh wajah di kamar mandi. Setelah keluar dari kamar mandi, ia duduk di kursi belajarnya sambil memperhatikan jam digital yang menunjukkan angka 4.52.

Ia memang sengaja bangun di jam begini agar punya waktu untuk belajar—diam-diam. Karena setelahnya, ia akan menunjukkan pada siapapun bahwa dirinya adalah pemberontak. Bahwa dirinya tak ingin diatur.

Ia mulai membuka berbagai buku tebal di hadapannya dan mulai mempelajarinya. Jemarinya yang menghimpit pulpen, menari seirama dengan perintah otak. Bagai siklus, ia melakukan gerakan itu terus menerus hingga matahari kini mulai bergerak naik ke singgasananya dan dengan sombong memancarkan cahaya, menyadarkan si pemuda bahwa jam digital itu kini sudah berganti angka menjadi 6.35.

Glabelanya berkerut kala namanya dipanggil seiring dengan ketukan pintu yang tergesa. Ia berdiri dan melangkah cepat ke arah pintu untuk dibuka, dan yang ia lihat setelahnya adalah perawakan seorang ART yang sedang menatapnya cemas.

"Ada apa, Bi?"

"Itu, Den ... err ... Aden disuruh turun buat sarapan sama tuan dan nyonya," jawab ART itu ragu-ragu.

Semakin dalam lah kerutan glabela itu. "Tumben," gumamnya. "Mereka belum ke rumah sakit? Atau ke kantor? Kayak biasanya?"

ART di hadapannya menggeleng cepat. "Enggak, Den. Ayo, ke bawah. Saya takut dimarahin kalo lama manggil Aden-nya."

Hembusan napas kesal terdengar jelas, namun dia juga tak sampai hati membiarkan ART yang sudah bekerja di rumahnya lebih dari sepuluh tahun ini dimarahi. Oleh karena itu, ia akhirnya mengangguk dan menutup pintu lalu mengekori ART ke ruang makan.

Demi apapun, hari sabtu ini sepertinya adalah hari kejutan di keluarga ini. Bagaimana tidak, panggilan sarapan yang tiba-tiba dan tentunya jarang terjadi sudah membuatnya bingung. Lalu kini, kehadiran seseorang yang duduk tenang di atas kursi roda itu membuatnya ingin meluapkan segala pertanyaan di otaknya.

"Junior, bergerak lebih cepat! Waktu kami tidak banyak."

Karena malas menanggapi, Junior akhirnya hanya diam namun kakinya tetap bergerak lebih cepat sesuai perintah pria paruh baya itu. Ia bergeming sejenak di samping kembarannya yang duduk di kursi roda, kemudian menatap bergantian mama dan papa-nya. Namun, karena yang dia dapati hanyalah tatapan datar, maka ia memutuskan untuk duduk di samping saudara kembarnya.

Tidak ada perbincangan, sama sekali. Yang terjadi hanyalah, acara sarapan yang dibuka oleh kepala keluarga dan diikuti anggotanya. Layaknya acara resmi, semua berjalan begitu kaku, membuat Junior muak dan ingin cepat pergi dari sana.

"Januar akan pindah sekolah." Pernyataan itu membuat Junior mendongak pada papa-nya yang baru saja selesai meneguk air putih sebagai penutup sarapan.

"Hanya sementara," sanggah Januar cepat dengan nada dingin dan tatapan terlampau datar.

Entah sudah berapa lama Junior tidak mendengar suara itu, suara yang biasanya hangat kini terdengar kaku dan dingin. Mirip papa-nya.

"Ah, iya. Hanya sementara, demi pemulihan." Pria paruh baya itu meralat, membalas tatapan dingin sang anak sulung tak kalah dingin.

"Kenapa harus pindah sekolah?" tanya Junior.

"Demi pemulihan. Apa harus diulang, Junior Abraham?" Ucapan sarkas itu membuat Junior terkekeh, jangan pikir dia tidak berani.

"Lucu. Sejak kapan kalian jadi peduli? Oh ... sejak Januar masuk rumah sakit, ya? Berarti ... Junior juga harus masuk rumah sakit dulu?" Junior meminum air putih dengan santai setelah rentetan kalimat itu terlontar.

We Are DifferentTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang