8. Ketua Kelas

14 9 1
                                    

Happy reading sayang²ku><

___________________

Bagi Abi, bersekolah di SMA Bima Sakti, apalagi masuk ke dalam kelas unggulan adalah malapetaka. Tiap harinya, bertemu dengan para manusia kaku yang pembahasannya tak jauh-jauh dari nilai, pelajaran, lalu kembali lagi ke nilai. Begitu saja, benar-benar monoton.

Tapi sebuah keberuntungan juga, karena setidaknya masih ada Aya dan Geby. Dua gadis itu tampak berbeda dari yang lain, berada di dekat mereka membawa energi positif bagi Abi. Tapi, dia juga tak bisa mengelak tentang apa yang diucapkan Geby kemarin.

"Lo belum kenal kami sejauh itu, Abi."

"Kami juga termasuk kelas sebelas Sains A, itu."

Abi mengusap kasar wajahnya, kemudian meraih ponsel di atas nakas. Ponselnya sudah berdering sejak tadi, tapi baru hendak ia angkat karena melamun sejak tadi.

"Lama banget angkatnya! Jangan bilang, lo baru bangun tidur."

Bukannya menyapa, orang di seberang sana malah mengomel. Abi menghembuskan napas malas, sahabatnya itu memang seperti ibu-ibu.

"Woy! Lo denger gue gak sih?"

Abi mengelus dadanya sabar. "Iya, gue denger."

"Gue mau cerita sama, lo ...."

Cerita sahabatnya mulai mengalir, sementara Abi sedang mengenakan sepatunya dengan tenang.

"By the way, gimana sekolah barunya? Seru, gak?"

Pertanyaan itu terlontar, tepat setelah Abi selesai memakai sepatunya. Ia menatap malas pada ponsel yang ia loud speaker di atas kasurnya.

"Iya, seru. Saking serunya, gue mau balik lagi ke sekolah lama."

Terdengar tawa mengudara dari seberang, membuat Abi berdecak sebal. Ia berdiri, kemudian menyahut tas yang tergantung di samping pintu.

"Nga-"

Sebelum suara ledekan itu kembali terdengar, Abi segera menekan ikon merah dan telepon terputus begitu saja. Dengan santai, ia memasukan ponsel ke dalam saku celananya dan keluar dari kamar.

Saatnya, memulai hari baru. Membosankan.

°°°°

Kelas tenang seperti biasa, bahkan saat Bu Nana masuk dengan angkuhnya. Tidak seperti biasanya, kali ini guru berkacamata itu tidak menyapa anak muridnya dengan bangga. Ia dengan tenang menempelkan sebuah kertas di tembok, tepat di samping papan tulis. Barulah setelahnya, membalikkan tubuh demi mendapati wajah penasaran dari anak muridnya.

"Silakan baca informasi ini, setelah saya keluar dari sini," ucap Bu Nana tenang.

Namun, tangan yang terangkat tinggi dari bangku depan-barisan paling kiri-membuat tatapan Bu Nana menajam. Si pelaku menurunkan tangannya dengan santai, dan bersiap untuk melontarkan pertanyaan.

"Tidak ada sesi tanya-jawab!" tegas Bu Nana, sebelum mulut Gil berhasil mengeluarkan suara. "Langsung baca saja informasi setelah saya keluar dari sini. Apa kamu tidak paham bahasa Indonesia?" Alis kanan Bu Nana terangkat dengan sinis, membuat nyali Gil ciut.

Kunyahan Gil pada permen karet memelan, kemudian menunduk sopan sebagai permintaan maaf.

Bu Nana menghembuskan napas lelah, kemudian melangkah menuju pintu hingga menimbulkan bunyi dari sepatu heels-nya. Namun, sebelum benar-benar keluar dari kelas yang disebut-sebut sebagai kelas unggulan itu, ia berhenti di ambang pintu kemudian menoleh ke dalam kelas.

"Saya sepertinya lupa banyak hal," katanya. Bibirnya perlahan menyunggingkan senyum, meski tipis. "Kalian belum punya ketua kelas," terusnya.

Mata Bu Nana memandangi mereka satu per satu, kemudian berhenti di bangku paling belakang. Ia mengangguk-angguk, seolah mendapat jawaban di kepalanya.

"Abi. Kamu saya pilih jadi ketua kelas di kelas ini."

Tak ada sahutan, bahkan Abi mungkin tercengang. Dia benar-benar tak menyangka bahwa Bu Nana akan memilihnya, karena dia adalah murid baru di sini. Kenapa, Bu Nana tidak memilih Aya yang jelas-jelas punya otak paling cerdas di sini? Atau, kenapa bukan Geby saja yang jelas-jelas sudah cerdas, ramah, juga berani. Atau mungkin, pilih saja Bumi yang kini sudah menolehkan kepalanya ke belakang-tepat ke arahnya-dengan tatapan tak suka.

Percuma. Belum juga Abi melontarkan protes, Bu Nana sudah benar-benar meninggalkan kelas.

"Widih, udah jadi Paketu sekarang." Ucapan Gil terdengar dari seberang sana, membuat Abi menoleh malas.

Abi akui, di kelas ini penampilan Gil paling mencolok. Itu karena rambutnya yang diwarnai sedikit seperti warna uban, dan sedikit goresan pada alis sebelah kirinya. Bukannya terlihat alay, Gil malah terlihat keren dengan penampilan seperti itu.

"Bisa lah, traktir-traktir." Sahutan lain terdengar dari bangku di belakang Gil. Dia, Iqbal.

Berbanding terbalik dengan sang sahabat, Iqbal ini punya penampilan lebih rapi. Mukanya paling imut di antara anak cowok di kelas ini. Tak lupa, gingsulnya akan terlihat ketika sedang tertawa seperti sekarang.

"Berisik." Nampaknya, dari bangku sebelah kanan Abi, seseorang yang sedang khusyuk membaca mulai terganggu dengan keributan kecil yang Gil dan Iqbal ciptakan. Dia, Aldo.

Kalau Abi perhatikan, tidak ada yang begitu spesial dari Aldo. Yang menonjol hanya, Aldo itu suka pakai gelang. Jika Abi teliti, gelang di tangan kiri Abi itu ada tiga-jika ditambah dengan jam tangan berwarna hitam
itu maka menjadi empat.

"Ini, gak ada yang penasaran sama informasi yang tadi Bu Nana bawa?" Lontaran pertanyaan itu membuat semua mata tertuju pada gadis yang duduk di barisan paling depan, dekat pintu. Dia, Violet. Sekelas lebih sering memanggilnya, Vio.

Gadis yang selalu menggerai rambut hitam sepinggangnya itu memang paling mencintai hal berbau kecantikan. Maklum, ibunya punya salon kecantikan. Dia bahkan, sering dijadikan model oleh sang ibu untuk mempromosikan berbagai produk kecantikan.

"Lo sendiri, kenapa gak penasaran?" Pertanyaan balik yang dicetuskan oleh gadis lain di samping kiri Abi, seolah melanjutkan drama di kelas ini yang tak kunjung usai. Dia, Geby.

Abi pikir, dia belum begitu mengenal Geby. Atau bahkan gadis berhijab yang duduk di samping Geby, Aya. Meski lebih dekat dengan mereka, tapi Abi tidak lupa dengan apa yang Geby ucapkan kemarin. Bahwa, dia belum benar-benar mengenal mereka.

"Kita udah punya ketua kelas, untuk apa susah-susah cari tau?" Seolah itu menyindirnya, Abi menatap tak minat pada belakang kepala si pemilik suara yang mungkin sedang pura-pura membaca itu. Abi malas jika harus mengingat nama seperti, Bumi.

Si cowok berkacamata dengan tatapan tajam, serta suara yang berat. Jiwanya benar-benar terlihat seperti seorang pemimpin yang tegas dan ... ambisius. Abi akui, dia benci berurusan dengan orang seperti itu.

Sadar posisinya sekarang, Abi lantas berdiri dan segera menuju ke depan. Beginikah, rasanya jadi ketua kelas? Abi tak yakin dia bisa bertahan. Apalagi setelah membaca apa yang tertempel itu, Abi semakin muak saja.

Ia berbalik, dan menatap 'teman sekelasnya' yang mungkin penasaran. Berusaha tenang saja, ia memasukkan kedua tangannya di saku celana abu-abu bermotif kotak-kotaknya.

"Mulai sekarang, setiap hasil ulangan harian sampai ujian di kelas ini akan ditempel di mading." Ia memberi jeda sejenak, sebelum melanjutkan, "nilai kita diawasi sepenuhnya oleh pihak sekolah. Karena, kelas ini dianggap sebagai bibit unggul untuk masuk ke berbagai universitas terbaik."

_______________________________
Salam manis
Ye
Can

We Are DifferentTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang