19. Teka Teki Silang

18 8 0
                                    


Sembilan belas murid yang masih menggunakan seragam putih abu-abu, berdiri dengan keluhan tertahan di depan pintu ruangan dengan angka yang terpampang '124'. Hanya bisa begitu, tak bisa masuk karena tak diizinkan oleh keluarga dari pasien.

"Kita gak dibolehin masuk, jadi masih mau ngapain di sini?" Suara Aldo menyeruak di antara keterdiaman yang berbelit. Suara itu sebenarnya sudah hendak dimuntahkan sejak tadi, namun mengingat dia numpang dengan mobil Geby—yang dikendarai oleh Theo—maka ia sabar menyimpannya sejenak, tadi.

"Kita pulang aja, yuk!" Vio menyahut dan segera berjalan lebih dulu, beruntunglah dia tidak membawa kendaraan hari itu dan mobilnya datang dari rumah bersama supir hingga bisa memuat 'teman' yang lain. Dia tidak perlu sungkan seperti Aldo atau yang lainnya.

Segerombolan itu mulai berjalan, dengan langkah tak seirama. Sampai belokan koridor bertemu Theo yang baru datang dari kantin Rumah Sakit dengan menggenggam sebotol air mineral. Theo yang sudah lulus SMA tahun lalu itu, akhirnya menjadi ganjil di antara seragam abu-abu teman-teman Geby, dengan dia sendiri menggunakan kaus hitam yang dilapisi jaket denim.

"Ada something yang lo rasain?" Abi berbisik setelah menepuk pelan bahu Geby, membuat Geby menoleh meski langkah mereka belum menemukan tempat tuju.

Kedikan bahu Geby berikan, "Tempat ini paling banyak nampung mereka."

Abi mengangguk seolah paham, tangannya terangkat dan melengkung untuk merangkul bahu gadis yang berjalan di sampingnya itu. Sebenarnya, dia tidak perlu bertanya karena dia sudah tahu jawabannya.

Sejak mereka masih di parkiran sekolah dan memperdebatkan bagaimana cara ke Rumah Sakit sedangkan kendaraan pribadi mereka mengalami kebocoran serempak, lalu Vio yang kebetulan hari ini tidak membawa kendaraan pribadi menelpon supir di rumah dan dengan sukarela mengizinkan mobilnya dipakai untuk kendaraan bersama, lalu Geby yang memang tak pernah membawa kendaraan pribadi menelpon Theo sekaligus supir dari rumahnya untuk jemput dan turut mengizinkan mobilnya ditumpangi teman yang tersisa, Abi sudah melihat ada kecemasan dalam raut itu.

Air wajah itu beriak penuh gelisah.

Dia berkecamuk antara keberanian dan ketakutan yang tersisa.

Dan akhirnya mengikuti keberanian meski ketakutan itu mengikuti.

Dan kini ketakutan itu tertawa sebab ia benar.

Rumah Sakit memang tak baik untuknya, untuk Geby. Karena, dia merasakan itu selalu lebih di sini.

"Tenang, ada gue di sini." Abi berbisik lagi.

Dan Geby tak tahu harus tenang karena dia dilindungi, atau karena takut bahwa dia mudah terombang-ambing oleh kalimat seorang pemuda seperti Abi.

Dan Theo yang berjalan di belakang Abi yang masih merangkul Geby, hanya bisa tersenyum tipis. Menyaksikan gadis berhijab di samping kiri Abi yang hampir pingsan seperti Geby, namun dia tak punya tempat berlindung seperti Geby. Theo tahu, gadis itu mulai kehilangan sesuatu.

Entah itu sahabatnya yang selama ini selalu jadi gadis senasibnya. Atau itu pemuda yang beberapa hari belakangan ini membuatnya terkagum dengan lontaran kalimat manis.

Bahkan, gadis berhijab itu tak bisa memilah mana yang benar.

°°°°°

Geby seharusnya paham bahwa kalimat penenang yang dilontarkan Abi tadi hanyalah formalitas. Sekedar menunjukkan bahwa dia peduli. Selebihnya, jangan berharap lebih. Karena pada nyatanya, Abi lebih memilih menemani Aya pulang naik taksi karena gadis itu ingin cepat-cepat pulang sebab sudah tak betah berada di sana. Sementara jika harus menumpang mobil dengan Geby, maka mereka harus mengantarkan  teman yang lain lebih dulu dan tentu saja memakan waktu lebih lama.

Sederhana saja, kalimat penenang tadi seharusnya untuk Aya. Karena finalnya, Aya yang mendapat perlakuan nyata.

Tepukan di bahunya membuat Geby menoleh dan manik legamnya langsung berpapasan dengan wajah Theo.

"Mau sama mobil saya atau ikut mobil rumah kamu?" tanya Theo, masih saja dengan gaya bicara formalnya.

"Ikut, Kak Theo." Geby menjawab tenang. Tadi, dia datang ke Rumah Sakit dengan mobil yang dikendarai supir dari rumahnya, sekarang ia ingin merasakan mobil milik Theo.

"Oke." Theo mengangguk riang, kemudian mengajak teman-teman Geby untuk masuk ke mobilnya.

Mobil itu hening, canggung, dan seperti tak ada ruang bebas. Dan jika boleh menyuarakan pendapat, Theo tak suka berada dalam situasi seperti ini. Para remaja SMA yang berada di mobilnya ini benar-benar kaku.

"Keluarga Bu Nana yang tadi ngomong sama kita, kok rada aneh, ya." Novan menyuarakan pendapatnya, membuat Theo diam-diam menghembuskan napas lega.

Setidaknya ada topik yang dibahas, mobilnya jadi tidak seperti ruang ujian.

Geby yang tersadar dari lamunannya, segera menoleh ke kursi belakang, "Aneh gimana?"

Novan menggaruk pipinya lalu mengedik bahu, "Pas ngomong sama kita, dia kayak muter-muter—"

"Singkatnya, dia kelihatan cemas," sanggah Aldo cepat. Pemuda yang tadinya sibuk membaca buku online itu, segera mengangkat pandang.

"Gue gak mudeng." Junior yang duduk di antara Novan dan Aldo, menguap meski tangannya tetap sibuk pada rubik.

"Maksud kalian, dia kayak sembunyiin sesuatu dan takut ketahuan?" Geby bertanya semangat. Jujur saja, dia juga sempat melihat gerak-gerik aneh dari pria yang mengaku sebagai kakak dari Bu Nana tadi.

"Mungkin berhubungan sama kecelakaan yang dialami sama guru kalian?" Suara Theo merayap pelan, hingga berhasil menyelinap ke telinga dan duduk pada otak ke-empat murid di sana.

Dan mereka perlahan menyadari, bahwa ini semua mulai berkaitan dan membentuk kotak mendatar dan menurun. Menunggu, meminta diisi. Menanti jawaban dari berbagai teka-teki yang sudah terpampang. Tak tahu harus lebih dulu, mengisi yang putih atau hitam, mendatar atau menurun.

Setelah ini, mereka tak lagi dapat tidur tenang.

To be continue.

We Are DifferentTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang