26. Terlewatkan

10 5 1
                                    

Vio memang tidak begitu suka hari minggu, namun kali ini dia lebih tidak suka lagi. Alasannya jelas, karena dia harus susah-susah ke sekolah dan membersihkan ruangan kelas demi bisa kembali masuk esok hari. Tadinya dia tidak mau datang, namun mengingat yang memberi titah ialah kepala sekolah, dia merubah niatnya. Dari pada namanya yang sudah ia tata sebagus mungkin semenjak masuk kelas unggulan, menjadi rusak hanya karena tidak membersihkan kelas. Itu alasan konyol dan sangat tidak terhormat.

Baru saja turun dari mobil yang dikendarai supirnya, mata Vio menangkap sosok pemuda yang juga baru turun dari motornya di tempat parkir sana. Vio buru-buru melangkah untuk menghampiri pemuda itu, ada yang harus dia tanyakan. Belum juga sampai, sosok lain kini malah melintas di depannya. Vio jadi mengalihkan tujuan, dan menghampiri gadis lain yang pagi itu tidak menyapanya. Ah, atau lebih tepatnya sudah tidak menyapanya selama seminggu.

"Woy, Mila!"

Mila—gadis itu—terus melangkah. Entah benar-benar tidak dengar atau pura-pura, yang jelas Vio kesal. Dia yang malas berlari, pagi itu harus berlari demi Mila yang entah kenapa jadi menjengkelkan sekarang.

"Heh!" Berhasil. Lengan Mila kini sudah ditahan oleh Vio.

"E-eh, Vio?" Mila menampilkan raut terkejut.

Vio mendelik. Setelah mengatur napasnya, dia akhirnya bersuara lagi, "Lo ngehindarin gue?"

"Ngehindarin gimana maksud lo?" Alis Mila berkerut, namun wajahnya jelas menunjukkan rasa panik.

"Kenapa nomor gue diblokir? Terus, tadi kenapa gak nyaut pas gue panggil." Vio membeberkan pertanyaan sekaligus pernyataan yang kini berhasil membuat Mila gelagapan dan menoleh sembarang arah.

"Gue lagi gak ada kuota, makanya pesan lo centang satu, mungkin. Terus tadi, gue beneran gak denger kalo lo manggil," jawab Mila terkesan buru-buru yang justru membuat Vio semakin curiga bahwa Mila sedang menyembunyikan sesuatu.

"Lo—"

"Udah, ya, Vi. Gue duluan ke kelas, takutnya telat terus yang lain pada marah." Setelah berkata begitu, Mila melengos begitu saja tanpa bisa Vio tahan.

Vio menggeram tertahan, sesuatu dalam dirinya terlalu penasaran. Padahal, dari dulu Vio bukan tipe seperti ini. Kalau begini jadinya, dia mirip seperti tukang gosip atau lebih spesifiknya mirip Naomi. Mau tahu banyak hal demi kepentingan sendiri.

Ketika Vio pikir rasa keingintahuannya sangat tidak baik, itu sebenarnya salah di situasi seperti ini. Apalagi saat dia memutuskan untuk ikut ke kelas, padahal sebuah pertanyaan atau mungkin lebih banyak pertanyaan yang harusnya ditujukan untuk pemuda yang dia lihat pertama kali, sudah dia lupakan. Terlewat begitu saja.

°°°°

Langkah pasangan kekasih itu terhenti, sang gadis mengisyaratkan kepada pasangannya agar diam dan mendengarkan sesuatu dari dalam kelas yang baru saja ingin mereka masuki.

"Kelas kita akhir-akhir ini dianggap aneh sekaligus mengerikan sama orang lain, dan lo mau memperkeruh?" Pertanyaan dengan nada dingin itu membuat Novan semakin penasaran, karenanya dia menarik Vanes untuk berdiri lebih dekat ke pintu.

"Gue gak tau apa-apa!" Balasan itu juga tak kalah dingin.

Novan dan Vanes tentunya kenal siapa saja pemilik suara itu, namun mereka tetap diam di sana untuk mendengar apalagi yang akan dibicarakan selanjutnya.

"Kalo lo gak tau apa-apa, kenapa barang ini bisa ada di tas lo?"

Sekarang, suara dengan nada rendah yang Novan dan Vanes yakini sudah berada di ambang kemarahan membalas, "Kalo lo mau tau, papa gue dulunya pengguna narkoba. Tapi gue, sama sekali gak berminat buat ngikutin jejak dia."

Sekali itu, Novan dan Vanes saling pandang dengan tidak percaya. Keduanya akhirnya masuk ke kelas, mengambil alih pandangan kedua pemuda yang sedari tadi berbalas kata. Iqbal dan Aldo.

"Siapa yang pake narkoba?" Suara Novan menggelegar, sampai terdengar ke telinga ketua kelas yang baru saja datang dengan diikuti seorang gadis berhijab krem.

"Narkoba?" Suara Abi menyela.

Suasana pagi yang tadinya sejuk, berubah menjadi panas. Semuanya diam dan saling pandang, sedang mencari tahu siapa yang benar-benar salah di sini. Padahal untuk masalahnya saja tidak tahu arah kejelasan, namun pembenaran itu sudah dicari.

"Do, gak mau ngejelasin sesuatu?" tanya Iqbal pada Aldo seolah sedang memancing.

Aldo—pemuda yang selalu memakai gelang tangan itu mendesah. "Gak ada yang perlu gue jelasin," tekannya.

Iqbal tentu tak puas. Dia melangkah mendekati Aldo dan menarik sebuah tas hitam dari tangan Aldo. Sebelumnya, tas itu terjatuh di lantai, tentu Iqbal melihat isi tas itu tumpah karena resletingnya tidak ditutup. Kini tangan Iqbal merogoh isi tas itu dan mengeluarkan sebuah benda kecil dengan kemasan plastik, isinya berwarna putih. Mereka semua yang ada di sana, tahu jelas benda itu.

"Yakin gak mau jelasin?" Iqbal tersenyum miring, seolah kali ini dia sedang bertanding dan menang.

Aldo justru tertawa, dia menatap sekitarnya. Ternyata sekarang bukan hanya Novan, Vanes, Abi, dan Aya. Aldo rasa, yang menghakiminya akan semakin banyak. Lihat saja ekspresi mereka, Mila, Vio, Laskar, Sisil, Naomi, Helen, Gita, Safira. Lucu juga, rasanya masih kurang karena anggota kelas yang selalu menghakimi itu belum lengkap.

"Aldo." Suara Abi kembali terdengar. "Bilang kalo itu bukan punya lo," ucapnya.

"Percuma, Bi." Aldo membalas. Tangannya menarik paksa tas dari tangan Iqbal, begitu pula benda yang dijadikan bahan perdebatan itu. "Percuma kalo gue jelasin, kalian tetap gak percaya. Iya, kan?" sambungnya sembari menutup tas itu dan memakainya di pundak.

"Tapi kita butuh penjelasan, lo!"

"Buat apa?" balas Aldo pada Vio. "Lo gak usah minta penjelasan gue kalo akhirnya lo tetap bakal nuduh kayak Iqbal."

"Kita janji gak bakal nuduh. Kita cuman butuh lo jelasin gimana barang itu bisa ada di tas lo."

Aldo berdecih mendengar ucapan Abi. Dia melangkah mendekati Abi di pintu kelas itu. "Janji?" Suaranya seperti meledek. "Gue justru kasihan sama lo, Bi. Lo anak baru, disuruh masuk kelas ini dan bahkan dijadiin ketua kelas. Betah-betah, ya, Bi." Aldo menepuk bahu Abi kemudian menerobos kerumunan itu, bahunya bahkan menyenggol bahu milik Vio dan Mila yang kebetulan berdiri berisisian.

"Oh, ya." Mereka yang tadinya terpaku oleh perkataan Aldo, kini berbalik untuk melihat pemuda itu lagi yang nampaknya masih ingin berbicara.

"Buat lo yang naruh barang ini di tas gue, jangan pikir gue gak tau. Gue cuman kasihan aja kalo lo sampai ketahuan, jadi gue saranin lo berhenti buat candaan kayak gini. Karena gue bisa pastiin, lo gak bakal baik-baik aja kalo gak berhenti."

Setelah itu semuanya makin terdiam, dan sunyi mengiringi langkah Aldo. Sepertinya pemuda itu sudah berniat pulang. Untung saja, tak lama setelah itu Geby, Junior, Gilbert dan Bumi tiba. Mereka yang tidak tahu apa-apa dibuat bingung dengan keterdiaman dari teman sekelas mereka.

"Ada apa? Kok pada gitu ekspresinya." Geby yang penasaran, bertanya lebih dulu.

Sementara Bumi sudah diwawancarai oleh Novan karena ikut-ikutan telat padahal dia beragama Muslim. Bumi dengan santainya menjawab, "Selagi kalian belum bersihin kelas, artinya gue belum telat." Logis, jadi Novan tidak bisa membantah.

"Bukan apa-apa." Abi menjawab pertanyaan Geby yang belum dijawab siapapun. "Udah, ayo kita bersihin kelas." Tangan ketua kelas itu mengusap pelan rambut Geby, kemudian mulai memimpin kerja bakti hari itu.

Dan semuanya mulai terlewati, melupakan yang terjadi pada Aldo dan apa yang dia ucapkan. Sayang sekali, mereka benar-benar suka mengabaikan sesuatu yang seharusnya berharga.

To be continue

We Are DifferentTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang