3. Mereka Di Sini

41 17 0
                                    

Petang kini menyapa, matahari kini akan mengucap perpisahan lewat senja. Gadis dengan kalung salib di lehernya itu, keluar dari rumahnya dengan tangan yang menenteng kresek hitam besar. Ia diperintahkan sang mama untuk membuang sampah di tong seberang jalan sana.

Sembari bersenandung ria, Geby membuka gerbang rumahnya. Kepalanya tertoleh ke kanan dan kiri, sebelum akhirnya kaki beralas sendal jepit itu melangkah mendekati tong sampah. Tangannya ia tepuk-tepuk setelah kresek berisi sampah itu, berhasil masuk ke tempatnya.

Dua motor yang datang dari arah barat, membuat Geby mengurungkan niatnya untuk menyeberang. Remaja dengan balutan kaos berwarna hitam, serta celana pendek selutut berwarna putih itu, menatap keadaan sekitar kompleks sembari menunggu motor itu berlalu. Matanya memicing kala melihat sebuah mobil di depan rumah yang bertetangga dengan rumahnya. Padahal setahunya, rumah itu kosong sejak lima tahun lalu.

Setelah dua motor itu berlalu, Geby melangkahkan kakinya menuju rumah tetangga. Ia berdiri di gerbang rumah itu, sembari mengintip lewat celah yang ada.

"Dek." Geby menoleh mendengar panggilan itu. "Nyari siapa?" tanya pemuda jakung dengan kaos hitam dan celana jeans panjang, yang kini menatap Geby heran.

Geby menggaruk pipinya yang tiba-tiba gatal. "A-anu. Mas ini, tinggal di sini?" tanya Geby, ragu.

Si pemuda menganggukkan kepalanya. "Saya sama orang tua saya, baru pindah ke sini tadi pagi," tuturnya sembari membuka gerbang. Sebenarnya, ia baru saja pulang dari minimarket di ujung kompleks. Terkejut saja, ketika baru pulang dan mendapati seseorang mengintip di gerbang rumah barunya.

"Oh. Berarti, kita bertetangga ya, Mas." Geby cengengesan tanpa sebab.

Pemuda itu terkekeh. "Oh, ya? Memangnya, rumah kamu di mana, Dek?" tanyanya dengan senyum ramah.

Geby menunjuk rumah mewah yang berada tepat di samping rumah pemuda di hadapannya. Namun tiba-tiba, indra penciumannya menangkap bau aneh yang menggelitik isi lambungnya. Kenapa ia jadi mual?

Melihat ekspresi gadis di depannya yang tiba-tiba memucat, pemuda itu menjadi bingung sekaligus khawatir. "Eh, Dek. Kamu kenapa?"

Geby menggeleng, tak kuasa untuk berbicara sebab bau ini semakin menyengat. Pusing juga tiba-tiba melandanya, hawa di sekitarnya tiba-tiba terasa panas.

"Eh, kita masuk ke rumah saya aja. Biar kamu tenang." Walau dilanda bingung, pemuda itu akhirnya menuntun Geby untuk masuk ke rumahnya. Sedangkan Geby hanya bisa pasrah, sebab tak kuasa menahan tubuhnya yang kian melemas.

Pemuda itu membawa Geby duduk di sofa, kemudian ijin sebentar ke dapur untuk membuatkan teh hangat. Tak sampai lima menit, pemuda itu sudah kembali dengan segelas teh hangat. Lantas, Geby segera menerima teh itu dan meneguknya hingga setengah. Ia memang sedang butuh minuman itu.

"Makasih, Mas." Geby meletakan gelas teh di atas meja kaca berbentuk oval yang kebetulan ada di depannya.

Si pemuda yang duduk di sofa sampingnya terkekeh. "Jangan panggil saya Mas. Saya baru aja lulus SMA tahun lalu, umur saya juga masih 20 tahun," ralat pemuda itu, membuat Geby meringis malu. "Panggil saya Theo."

Geby mengangguk. "Kalo begitu, jangan panggil aku Dek. Aku ini udah SMA, walaupun badanku tingginya gak seberapa," balas Geby membuat Theo, lagi-lagi terkekeh. "Panggil aku Shiva." Theo melongo, membuat Geby segera meralat, "Geby maksudnya."

Bau itu kembali datang, hawa panas kini seperti membakar kulit Geby. Padahal sudah malam, dan ruangan ini ber-AC. Geby menatap Theo cemas, sepertinya ada yang salah dengan rumah ini.

Theo yang mendapat tatapan itu, sontak mengerutkan keningnya. "Kamu kenapa?" tanyanya.

Geby tak menjawab, kini pandangannya berlari ke seisi rumah ini. Matanya memerah, seiring dengan panas yang semakin membara. Ia bisa merasakan hal lain di sini, makhluk di sini bukanlah makhluk yang baik.

"Geby." Theo memegang bahu Geby, membuat Geby kembali memandangnya. "Kamu ini, kenapa?"

Geby menggeleng pelan. "Orang tua, Kak Theo mana?" tanya Geby tegas.

"Oh, kamu takut saya berbuat macam-macam?" tanya Theo, jenaka. "Tenang aja, mama saya lagi bikin kue di dapur. Papa saya masih di kantor," jawab Theo setelahnya, karena tatapan datar yang Geby layangkan.

Geby sepertinya harus pergi dari sini, ia bisa pingsan atau muntah jika terus berada di sini. Ia buru-buru berdiri, namun Theo dengan sigap mencekal lengannya dan ikut berdiri.

"Kamu beneran gak pa-pa, kan?" tanya Theo khawatir.

Geby menatap lurus mata Theo. Sejurus kemudian, ia mendekatkan bibirnya pada telinga Theo. Kemudian membisikan sebuah kalimat yang membuat Theo mematung.

Setelah menyampaikan itu, Geby buru-buru melepas cekalan Theo pada tangannya dan pulang ke rumah. Sepertinya, ia harus meminta Aghata dan Lukas agar berdoa bersama. Ia tak ingin pingsan atau bermimpi buruk tentang 'mereka'.

Sementara Theo hanya bisa mematung, menatap punggung Geby yang sudah menghilang lewat pintu. Ia ingat betul, apa yang dibisikkan oleh gadis yang menjadi tetangga barunya itu. Sebuah kalimat yang berhasil membuatnya, was-was.

'Jangan lupa doain rumah ini. Mereka ada di sini.'

____________________

Kalo ada typo, bilang ya:)

Salam Manis
_Tikazch
_YsmiKueain.

We Are DifferentTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang