23. Tidak Ada yang Baik-Baik Saja

10 6 0
                                    

Hari Rabu itu, Geby akhirnya punya waktu dan punya keberanian untuk menelpon Bumi sekadar bertemu, meminta penjelasan atas pesan yang dikirim pemuda itu dua hari yang lalu. Percakapan di telpon siang tadi juga tidak berlangsung lama, kentara kaku dan canggung.

"Halo, Bumi."

Itu suara Geby siang tadi untuk memulai pembicaraan awkward setelah menunggu di dering ketiga.

"Ya."

Dan itu balasan terlampau singkat yang jika Geby ingat saat ini, dia ingin mengetuk dahi mulus milik Bumi. Yang sayang dalam realita, dia tentu saja tak berani melakukannya.

"Soal chat lo dua hari yang lalu, bisa tolong jelasin?" tanya Geby hati-hati.

Hening beberapa saat, mungkin itu karena Bumi sedang berpikir sejak kapan ia mengirim pesan pada seorang gadis, apalagi gadis itu adalah Geby yang tentu saja selalu berbeda pendapat dengannya.

"Hari ini gue ke rumah lo buat jelasin. Jam tiga sore, bisa 'kan?"

Dan entah hal apa yang harus Geby rutuki dari Bumi, yang jelas Geby kesal karena Bumi masih saja bersikap seolah dia adalah pemimpin yang harus dituruti. Padahal kini mereka sedang tidak mengenakan seragam kebanggaan SMA Bima Sakti.

"Oke, bisa."

Dan lebih parahnya, ketika ucapan Geby terlontar penuh keramahan, Bumi langsung saja memutuskan panggilan itu. Seolah hanya dia satu-satunya orang paling penting saja.

Geby menghembuskan napas lelah karena baru saja dia mengingat percakapan siang tadi, orang itu sudah datang dengan motor matic berwarna hitam. Sebagai tuan rumah yang baik, Geby memilih berdiri dari duduknya dan berjalan ke arah gerbang untuk membukakannya bagi tamu.

Setelah Bumi memarkirkan motornya asal di halaman rumah Geby, dan Geby kembali dari gerbang, keduanya berjalan beriringan ke teras rumah sesuai dengan ajakan Geby.

Setelah Bumi duduk di kursi teras, Geby pamit ke belakang untuk mengambilkan air putih yang diminta Bumi, padahal lagi-lagi Geby sudah mau menjadi tuan rumah yang baik dan menawarkan minuman berwarna. Tak sampai lima menit, Geby kembali dan menyodorkan gelas pada Bumi lalu duduk dengan tenang di kursi samping Bumi.

"Jadi?"

Bumi menyimpan gelas yang tersisa setengah air itu, lalu menatap Geby, "Hm?"

"Chat itu?" tanya Geby.

Bumi mengangguk-angguk, "Sehari sebelum gue kirim pesan itu, tepatnya hari minggu malam. Gue disuruh bunda buat beliin dia sate di ujung kompleks." Bumi berhenti sejenak untuk melihat ekspresi apa yang Geby tunjukkan. "Dan pas lagi antre, ada bocah cewek yang datengin gue dan ngasih gue buku. Katanya, ini buat anggota kelas sebelas Sains A. Karena gue bingung tapi gue juga ngerasa salah satu anggota kelas itu akhirnya gue terima.

"Gak ada yang aneh dari buku itu awalnya, cuman salah satu novel remaja yang setahu gue best seller. Tapi setelah gue perhatiin, ada yang aneh di halaman terakhir. Ya ... tulisan itu yang gue kirim ke, lo." Bumi menutup ceritanya dan kembali meneguk air yang tersisa hingga tandas.

Geby terpana. Bingung harus merespon apa karena, baru kali ini Bumi mau berbicara dengannya panjang lebar dengan nada dan wajah yang tenang. Tidak seperti biasanya yang malas bicara dan wajahnya terlampau datar dengan nada suara ketus.

"Buku?" tanya Geby, setengah-setengah.

Untungnya Bumi paham dan segera beranjak mendekati motornya dan mengambil benda yang ditanyai Geby dari dalam dashboard. Setelah kembali, ia menyodorkan buku itu yang langsung diterima Geby.

"Cerita tak kunjung usai," eja Geby kemudian membuka buku itu sampai ke halaman terakhir sesuai dengan yang Bumi ceritakan.

Geby mendongak. "Apa yang aneh? Bisa aja emang semua buku ini punya halaman akhir yang sama," katanya.

Bumi menggeleng. "Hari senin kemarin gue langsung ke perpustakaan kota buat liat apa semua buku ini punya halaman yang sama. Tapi nyatanya gak, Geby." Untuk pertama kalinya Bumi menyebut nama Geby secara langsung dan begitu tenang. "Satu lagi. Gue gak mungkin bikin hipotesis kayak gini tanpa sebab, gue masih ingat dengan jelas kalo bocah yang ngasih buku ini bilang kelas sebelas Sains A. Gimana dia bisa tau? That's weird, Geby. You know it."

"Jadi, kenapa lo kasitau ini ke gue? Terus, kalo emang ini aneh, lo ngerti maksudnya?" Geby sebenarnya tahu bahwa ini artinya XI Sains A benar-benar tidak baik-baik saja. Tapi dia sengaja menciptakan ilusi bahwa ini hanya kerjaan orang iseng.

Bumi mengacungkan jari telunjuknya lurus di hadapan Geby, "Pertama, lo adalah salah satu anggota kelas sebelas Sains A juga. Jadi gue gak mau cuman gue sendiri yang ngerasain kalo kita gak baik-baik aja." Jari tengah Bumi ikut teracung. "Kedua, gue gak ngerti maksudnya tapi gue bakal cari tau. Dan gue harap, lo juga ngelakuin hal yang sama. Karena lagi-lagi gue harus ingetin, kalo lo juga anggota kelas sebelas Sains A."

Tangan Bumi akhirnya turun, namun dia masih terus bicara, "Gue tau lo punya pikiran yang sama kayak gue, kalo kelas kita emang lagi gak baik-baik aja. Gue tau, lo gak lupa sama kejadian akhir-akhir ini yang bener-bener di luar batas wajar."

Geby adalah gadis yang berani, namun dia juga manusia biasa yang bisa panik seperti sekarang ini. Jari-jari tangannya bertaut, saling meremas panik.

"Bumi ... gue takut," lirihnya, membuat Bumi menoleh khawatir pada gadis yang biasanya berani itu.

"Gue gak mau kayak Shania apalagi kakak kelas yang gantung diri itu. Gue ngerti, Bumi. Gue sangat ngerti kalo ini semua berarti, kita memang gak baik-baik aja."

To be continue.

We Are DifferentTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang