2.Dia Aya

38 19 0
                                    

Bocah itu berjingkrak-jingkrak kegirangan, di depan rumah barunya. Hari ini, ia dan keluarganya baru saja pindah ke sebuah pedesaan. Benar-benar jauh dari perkotaan.

"Aya, ayo masuk!" Ajakan dari wanita dewasa itu, membuat si bocah mengangguk. Kaki mungilnya segera berjalan menghampiri sang bunda yang sudah mendekati pintu rumah. Sementara ayahnya masih sibuk mengeluarkan koper dan tas dari bagasi mobil.

Sambil menunggu bundanya membuka pintu rumah, bocah bernama Aya itu, menyapu pandangannya ke sekeliling. Samping rumah barunya ini terdapat banyak pohon pinus yang menjulang tinggi. Meski begitu, manik mungilnya masih dapat melihat rumah tetangganya meski tertutupi dahan-dahan pohon yang menjuntai.

Aya memicingkan matanya kala melihat seorang gadis sebayanya sedang berdiri di samping pohon pinus yang terlihat paling pendek dari pohon lainnya. Aya tersenyum lebar, kemudian melambaikan tangannya pada 'calon teman' barunya itu. Ya, mungkin mereka bisa jadi teman, nanti.

"Aya! Senyum sama siapa?" tegur Ibnu--ayahnya--sambil menenteng dua tas besar di kedua tangannya.

Aya menoleh. "Sama anak itu." Ia menoleh kembali pada tempat gadis itu berdiri, namun tak ada siapapun lagi di sana.

"Siapa, Nak?" tanya Ibnu, heran. Perasaan, dari tadi ia belum melihat ada anak di sekitar sini selain Aya.

"T-tapi, tadi dia di sana." Telunjuk Aya mengarah ke pohon pinus itu.

"AYAH! AYA! MASUK! SEPERTINYA, SEBENTAR LAGI AKAN HUJAN." Bunda yang sudah masuk lebih dulu ke dalam rumah, mengeluarkan ultimatumnya. Bagai dikomando, Ibnu dan Aya masuk bersamaan ke dalam rumah.

°°°

Seperti hari-hari sebelumnya. Selepas pulang dari sekolah, Aya akan ikut bermain dengan anak-anak sebayanya dari desa itu. Hari ini, mereka memutuskan untuk bermain petak umpet.

"Hompimpa alayum gambreng."

Aya mendengus, saat tiba gilirannya. Teman-temannya bersembunyi, dan ia yang bagian mencari.

"Satu ... dua ... tiga ...." Aya mulai berhitung dengan mata terpejam, dan jidat yang ditempelkan di batang pohon pinus. Sementara teman-temannya mulai pergi bersembunyi.

"Tujuh ... delapan ... sembilan .... se--"

"Sepuluh." Aya mengerutkan keningnya, kemudian segera membuka mata.

Dirinya dibuat terkejut, dengan kehadiran anak gadis yang ia temui waktu pertama kali datang ke desa ini. Penampilan anak itu masih sama, dengan dress putih selutut dan rambut sebahu yang dibiarkan tergerai kusut.

"Kamu siapa?" tanya Aya heran.

Bibir pucat gadis itu, bergerak dan mulai menggumam, "Valerie."

Aya tersenyum senang. "Oh, jadi nama kamu Valerie?" Ia kemudian menyodorkan tangannya pada gadis dengan tatapan datar itu. "Aku, Aya."

"Kamu kok gak nyari kita?" Pertanyaan kesal dari seseorang, membuat Aya menurunkan tangannya. Ia menoleh, dan terkekeh pelan.

"Maaf, teman-teman. Aya baru aja ketemu sama dia." Aya menoleh, dan terkejut saat tak menjumpai Valerie lagi.

"Kamu dari tadi ngomong sama siapa?" tanya si gadis berambut ikal, dengan heran.

"Dengan Valerie," jawab Aya, polos.

Si bocah cowok dengan pipi tembem menyeletuk, "Dari tadi, kita liat kamu ngomong sendiri."

"Hah?" beo Aya. "Tapi--"

"Aya." Aya menoleh, saat suara tak asing itu menyapa.

"Loh, Bunda?"

"Pulang, yuk! Bentar lagi sore," ajak Siti. "Kalian juga, mending pulang sekarang. Orang tua kalian pasti lagi nyariin di rumah, besok aja lanjutin mainnya."

Lima bocah, teman Aya akhirnya mengangguk dan mulai melangkah menuju rumah masing-masing. Sementara Aya mulai melangkah mengikuti bundanya.

Setibanya di depan rumah, mata Aya tak sengaja menangkap sosok Valerie--anak gadis yang ia temui tadi.

"Bunda masuk duluan aja, Aya nyusul," ujar Aya pada Siti.

Siti menundukkan pandangan pada Aya yang hanya setinggi pinggangnya itu. "Jangan lama-lama, ya, Nak." Setelah mendapat anggukan dari sang anak, Siti akhirnya masuk lebih dulu.

Aya menoleh ke tempat ia melihat Valerie berdiri tadi, namun lagi-lagi, gadis itu menghilang secara misterius. Aya menyapu pandangannya, berharap dapat menemukan Valerie. Namun, bukannya melihat sosok gadis itu, Aya malah melihat seorang bapak-bapak yang sedang berusaha menumbangkan pohon pinus dengan kapak bersarnya. Emm ... bertanya pada bapak itu sepertinya lebih baik.

Kaki mungil Aya, yang berlapis sendal jepit bergambar doraemon itu, melangkah mendekati si pria paruh baya itu.

"Assalamualaikum, Om." Mendengar sapaan di belakangnya, membuat pria paruh baya itu menghentikan aktivitasnya. Kemudian membalikkan tubuhnya.

Aya menatap ragu pada pria yang masih memegang kapak itu, namun akhirnya pertanyaan itu keluar. "Om liat, Valerie?"

Pria paruh baya itu, diam dengan pandangan kosong. Perlahan, bibir pucatnya menunjukkan seringaian lebar. Membuat Aya memundurkan langkah secara perlahan. Nafas Aya memendek saat pria itu memelototinya. Dengan sekuat tenaga, ia berteriak histeris saat tangan pria itu terlepas begitu saja.

Sebelum Aya kehilangan kesadaran, Aya dapat merasakan seseorang memeluknya dari belakang dan membisikkan istighfar di telinganya.

°°°°

Memasuki SMP, Aya mulai tidak memiliki teman. Semua mulai menjauhinya karena ia sering berbicara sendiri, bahkan kadang berteriak histeris tanpa alasan yang jelas. Ibnu dan Siti mulai menyadari bakat anaknya, ia anak indigo.

"Aya takut dibully lagi," lirih gadis yang kini sudah mulai membiasakan diri dengan hijab itu.

Setelah mendengar penuturan putri tunggal mereka, Ibnu dan Siti akhirnya memutuskan untuk kembali ke ibukota. Memperkenalkan Aya dengan lingkungan baru, sepertinya lebih baik. Namun ternyata, semua tak semulus itu.

Melanjutkan SMP di sekolah baru, Aya menjadi seorang penyendiri. Meski, ia sudah tak lagi dibully seperti waktu di desa, tetapi ia memilih tak memiliki teman. Ia hanya tak ingin, seseorang menjadi temannya, lalu tahu tentang bakatnya, lalu mulai menganggapnya gadis aneh.

Ia bertahan hingga masuk SMA, menjadi penyendiri. Garis takdir mempertemukan ia dengan gadis lain, yang ternyata hampir senasib dengannya. Meski berbeda keyakinan, Aya dan gadis itu akhirnya menjalin persahabatan. Gadis itu dengan kemampuan perasanya terhadap 'makhluk lain', dan Aya dengan kemampuan penglihatannya yang menembus dimensi 'makhluk lain'.

We Are DifferentTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang