16. Rumah Wali Kelas

11 6 3
                                    

Cuaca panas yang menyengat di luar sana, seolah menembus dinding dan membaur bersama seisi kelas XI Sains A. Membuat beberapa sudah mulai mengetuk sepatu di lantai, tanda tak sabar ingin segera keluar dari sini. Bel pulang sudah berbunyi beberapa menit yang lalu, dan mereka seharusnya sudah keluar dari ruangan ini. Tapi harus bersabar lebih lama karena kehadiran Bu Nana tiba-tiba, yang dengan santainya duduk di kursi guru dan memperhatikan mereka semua seolah tak ingin melepaskan mereka sekarang.

"Junior, bagaimana kabar Januar?" Pertanyaan yang dilayangkan membuat Junior yang tadinya menunduk resah, mendongak.

"Dia ... sudah sadar subuh tadi." Jawaban itu menarik perhatian seisi kelas, membuat Junior meringis karena menjadi pusat perhatian. "Tapi, dia tidak mau bicara."

Kening Bu Nana mengerut dalam mendengar lanjutan Junior, seperti sedang menerka jawaban yang tak kunjung ketemu.

"Kenapa?" Akhirnya Bu Nana bertanya.

Junior menggeleng sembari melipat bibir ke dalam, dia juga tidak mengerti apa yang sedang terjadi dengan Januar.

Napas Bu Nana terhembus tenang, kemudian tersenyum tipis saat kembali memperhatikan anak walinya. Delapan belas murid yang hadir hari itu memang kelihatan penurut, tapi guru bernama lengkap Nana Gladyas itu tahu bahwa mereka adalah tipe murid yang tidak suka diatur.

"Saya dengar dari guru Bahasa Indonesia kalian, hari ini ada tugas kerja kelompok," ujar Bu Nana tenang. "Saya harap, kali ini kalian mengerjakannya secara berkelompok." Bu Nana menyeringai ketika mendapati wajah terkejut dari mereka—kecuali Abi yang menampilkan wajah santai karena memang tidak tahu.

Jangan pikir, sikap Bu Nana yang terlihat cuek dan dingin semenjak mereka kelas sepuluh adalah bukti bahwa ia tidak peduli. Diam-diam, guru itu memantau, dan tentu saja mengetahui tabiat anak walinya yang selalu mengiyakan 'kerja kelompok' padahal nyatanya mereka mengerjakan tugas itu secara 'individu'.

"Hari ini, kalian akan kerja kelompok di rumah ibu." Bu Nana kembali melontarkan kalimat. "Semuanya, tanpa pengecualian." Kembali melanjutkan ketika terlihat beberapa ingin protes.

°°°°

Mata Geby menatap bergantian antara pagar besi setinggi dadanya dan ponsel di genggamannya. Ia menghembuskan napas lebih sabar, ketika mengetahui bahwa baru dia saja yang sudah sampai di depan rumah Bu Nana. Sedangkan menurut pengakuan yang Geby dapat dari grup kelas; Vio masih berada di salon dan mungkin akan jadi yang paling telat; Mila dan Sagittarius baru bangun dari tidur siang; sementara yang lain entah di mana, mereka sama sekali tak memberi kabar.

Apa jangan-jangan, mereka tidak datang?

Geby mendengus kesal jadinya.

Bunyi klakson yang tiba-tiba, membuat Geby memegang dadanya terkejut. Ia membalikkan tubuh, hanya untuk mendapati dua orang pemuda yang selalu lengket kemana-mana.

Gil yang mengendarai motor, membuka kaca helm-nya, kemudian berujar dengan suara setengah teriak, "Bukain gerbangnya."

Geby mendelik, kemudian melipat tangan di depan dada seolah menantang. Membuat Iqbal yang duduk di boncengan tanpa balutan helm, bersiap mengeluarkan keluh kesah.

"Buka pintunya! Lo tuli?" cerca Iqbal gerah.

Gadis yang diperintah menggigit bibir bawahnya karena gemas. "Lo lumpuh? Gak bisa turun?" Ia membalas tak kalah pedas. Iqbal sampai melotot dibuatnya.

Meski masih belum puas, namun Geby akhirnya memutuskan untuk menurut. Setelah pintu gerbang itu terbuka, motor ninja hitam bersama para penumpangnya masuk tanpa ucapan terimakasih. Geby dibuat semakin geram.

We Are DifferentTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang