21. Cerita Tak Kunjung Usai

11 6 0
                                    

Bukan bermaksud memanfaatkan hari libur yang nyatanya terjadi karena tragedi tak mengenakan. Hanya saja, Abi berusaha melihat setitik cahaya hikmah dibaliknya. Buktinya, sekarang dia sudah duduk di teras sebuah rumah minimalis ditemani secangkir teh sembari bertukar cerita bersama paruh baya yang juga mendapat secangkir teh buatan sang istri.

"Aya! Buruan, udah ditunggu sama Nak Abi, loh." Siti berseru tak sabar pada anak gadisnya yang tumben-tumbenan bersiap lama sekali.

"Iya, Bun." Bersamaan dengan balasan itu, Aya mendorong pintu kamarnya dan menutupnya kembali. Berjalan agak tergesa sembari memperbaiki tali tas selempangnya.

Abi menyesap tehnya untuk terakhir kali saat Aya sudah berdiri di depan Ibnu dan menyodorkan tangan untuk mendapat salim. Untuk itu, Abi ikut berdiri dan mengikuti Aya—menyalimi Ibnu juga Siti yang baru saja datang dari dapur selepas menyimpan nampan.

"Hati-hati, Nak," ucap Ibnu membuat Abi mengangguk sopan.

"Dadah, Ayah, Bunda." Aya dengan senyum manisnya melambai, disusul Abi dan kemudian kedua remaja itu lenyap di dalam mobil yang dikendarai Abi, melaju membelah jalanan di pagi itu.

°°°°

Selayaknya seorang pengawal, Abi mengekori gadis di depannya dengan sabar. Memperhatikan dengan serius wajah gadis itu yang tak kalah serius bercampur bingung demi menemukan buku keinginannya.

Beda, jelas beda sekali. Ketika Abi dekat dengan teman perempuan maka jalan-jalan yang seharusnya adalah pergi ke mall atau area penuh wahana seperti dufan. Namun gadis ini Aya, gadis kalem dengan kecerdasannya yang justru ketika ditanyai; 'mau jalan ke mana?' maka ia akan menjawab; 'Perpustakaan Kota'.

Helaan napas antara pasrah dan bosan itu terdengar jelas di telinga Aya yang pagi itu memakai hijab dengan warna terang—merah muda. Ia berbalik dan mendapati bibir pemuda di belakangnya mengerucut, segera saja ia terkekeh.

"Bosan, ya, Bi?" tanya Aya yang jelas saja dihadiahi anggukan. Bukan maksud Abi memberikan kesan buruk hari ini, ia hanya ingin refreshing.

"Yaudah ke cafe di seberang jalan kayaknya bagus." Ucapan Aya membuat bibir Abi perlahan membentuk bulan sabit, sebelum akhirnya kembali menyurut kala Aya melanjutkan, "tapi kamu duluan. Aku masih mau cari buku, jadi 'ntar nyusul."

"Aku gak mungkin ninggalin kamu. Ayo, ke cafe bareng-bareng," kata Abi seperti anak kecil.

Lagi-lagi Aya terkekeh, "Duluan aja, Abi. Nanti aku nyusul, janji gak lama."

Abi mulai menimang, menatap kiri dan kanannya yang hanya menampilkan penampakan rak menjulang tinggi dipenuhi buku. Abi tidak suka membaca, jadi dia sebenarnya juga sudah tidak ingin berada di sini. Ide Aya bukan hal yang buruk. Lagipula, cafe yang dimaksud juga hanya butuh menyeberangi jalan raya dan sampai.

"Oke. Aku duluan, janji nyusulnya jangan lama-lama yaaa! Kalau ada apa-apa, langsung telpon nan—"

"Iya, Abi-ku. Udah sana!"

Abi menahan senyum dengan mengulum bibir karena namanya ditambah 'ku' oleh Aya, seolah dirinya adalah milik gadis di depannya. Ah, Abi jadi salting dan buru-buru meninggalkan Aya karena tak ingin gadis itu melihatnya yang jujur saja ingin guling-guling.

Setelah kepergian Abi, Aya kembali melanjutkan pencariannya pada buku berjudul 'Cerita Tak Kunjung Usai' yang penulisnya begitu Aya gemari. Ketika langkahnya sudah berada pada ujung rak ketiga yang ia datangi, akhirnya buku bersampul cokelat itu ketemu. Diraihnya buku itu tanpa ragu.

"Suka buku itu?"

Aya mendongak, namun tak ada siapapun. Akhirnya ia berbalik dan mendapati si pemilik suara yang adalah Bumi. Iya, Bumi teman sekelasnya.

"I-iya," jawab Aya kikuk.

Bumi mengangguk kecil, kemudian mengangkat buku di tangannya. "Gue juga suka." Entah ada apa, tapi Aya juga tak tahu kenapa Bumi tiba-tiba mengajaknya bicara begini.

"Oh, ya?" Aya menyengir canggung. "Penulisnya memang selalu ciptain karya yang bagus, jadi pantas aja kalau banyak yang suka baca bukunya," lanjutnya sambil tersenyum, kali ini lebih tulus.

"Tapi ada hal lain di bu—"

Bumi menelan kembali ucapannya kala ponsel gadis di depannya berdering. Seolah paham apa yang terjadi selanjutnya, Bumi hanya mengangguk dan membiarkan Aya sedikit menjauh untuk mengangkat telepon.

"... iya, bukunya udah ketemu. Aku ke sana sekarang."

Samar-samar suara Aya terdengar oleh telinga Bumi. Pemuda itu terus memperhatikan Aya yang sedang memasukkan kembali ponsel ke dalam tas selempangnya juga buku di tangannya dan segera mendekati kembali posisi Bumi.

"Pergi aja, gak usah pamit segala." Bumi mengibaskan tangan dan berlalu lebih dulu ke lorong rak di belakang Aya.

Aya sebenarnya bingung, apa Bumi sebenarnya ingin bicara dengannya? Tapi, Abi sudah menunggu dan dia tidak bisa menuntaskan rasa bingung. Justru kakinya melangkah lugas ke arah penjaga perpustakaan dan menyerahkan buku yang hendak dipinjam untuk diberi tanda tangan jaminan, setelahnya baru ia dapat berbalik pergi ke tempat Abi berada sekarang.

Bumi sebenarnya masih berdiri di balik rak itu saat punggung Aya sudah tak terlihat lagi. Ya, dia memang ingin bertemu dan berbicara dengan salah satu anggota kelas XI Sains A. Hari ini dia justru dipertemukan dengan Aya, tapi dia merasa ada sesuatu yang tidak tepat. Sehingga tangannya justru merogoh ponsel di saku hoodie-nya dan memotret sesuatu di halaman terakhir buku yang ia pegang, kemudian mengirim hasil jepretannya itu pada salah satu nomor yang ia ambil dari grup kelas.

Ia tidak tahu, hanya saja dia lebih percaya pada orang yang saat ini sudah melihat chat yang ia kirim.

°°°°

BumiAhmadi.

Glabela Geby mengerut, secara tiba-tiba Bumi mengirimnya pesan yang membuatnya semakin dilanda perasaan yang sulit dideskripsikan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Glabela Geby mengerut, secara tiba-tiba Bumi mengirimnya pesan yang membuatnya semakin dilanda perasaan yang sulit dideskripsikan.

To be continue.

We Are DifferentTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang