13. Anugerah atau Kutukan?

11 9 1
                                    

UNTUK SEMUA MURID SMA BIMA SAKTI, MASA LIBUR DIKURANGI MENJADI SEHARI. TETAP BELAJAR DAN JAGA KESEHATAN.

Pemuda itu mendesah kecewa dengan mata tak lepas dari layar ponsel di genggamannya. Padahal, dia dan saudara kembarnya sudah merencanakan liburan bersama para sepupu dua hari ke depan. Sepertinya, rencana menyenangkan itu harus ditunda—–lagi.

Dengan langkah gontai, ia keluar dari kamarnya dan segera mengetuk pintu yang berhadapan dengan kamarnya. Ia mengeryit, tumben sekali pemilik kamar ini tak langsung menyahut.

"Januar? Lo di dalam, 'kan?"

Ia mengerjap bingung, padahal beberapa menit yang lalu ia masih mendengar saudara kembarnya itu mengomel pada Asisten Rumah Tangga yang terlambat menyiapkan makan siang. Dan setahunya, ketika sedang dalam suasana hati buruk, saudaranya itu akan langsung masuk ke kamar.

"Januar! Ini gue." Tangannya kembali terangkat untuk mengetuk pintu kayu di hadapannya.

Pintu itu akhirnya terbuka, menampilkan raut pucat dari Januar. Membuat pemuda yang sedari tadi mengetuk pintu, terbelalak.

"Lo sakit, Jan?"

Januar menggeleng dengan senyum gugup. "Gak, gue sehat."

Seakan tak percaya, tangan pemuda yang lebih muda empat menit dari Januar itu terangkat ke arah dahi Januar. Benar, tidak panas. Tapi terasa lebih dingin.

"Lo ... yakin gak sakit?" Pertanyaan itu membuat Januar menggeleng lagi.

"Gue sehat. Cuman ... gak pengen diganggu aja." Setelah mengucapkan kalimat itu, ia buru-buru menutup pintu. Meninggalkan Junior dengan segala tanya.

Junior tahu ada yang tidak beres dengan Januar. Tapi, Junior tidak yakin Januar mau berbagi cerita.

°°°°

Sesuai dengan yang telah disampaikan di grup resmi SMA Bima Sakti, hari ini para murid sudah kembali bersekolah. Mereka bahkan sudah mulai belajar. Tetapi, perbedaan tampak di dalam kelas XI Sains A.

Tidak seperti biasanya, kelas itu hari ini sedang jam kosong. Guru yang seharusnya mengajar sedang sakit, bahkan tak sempat meninggalkan tugas. Kebebasan seperti ini adalah surga dunia bagi kelas lain, bukan bagi kelas itu.

Dalam kelas yang hening itu, bau menyengat datang menghampiri indra penciuman Geby. Lebih tepatnya, bau daging hangus. Ia menatap sekitar, sepertinya hanya dia yang mencium bau ini—–buktinya, teman sekelasnya tampak masih fokus dengan bacaan mereka. Tersadar, bau ini pasti bukan berasal dari dunia manusia.

Saking tak tahan dengan bau yang kian menyengat, Geby hampir muntah. Bau daging hangus ini kini bercampur dengan anyir darah, bisikan-bisikan abstrak semakin membuat kepala Geby pusing. Ia menggenggam erat pulpen di tangannya, sementara matanya tertutup rapat.

"Geby." Panggilan Aya di sampingnya, ia dengar samar-samar.

Menelan ludah kuat-kuat, Geby akhirnya membalas dengan bisikan, "Jangan sampai ada yang bengong, Ya. Bahaya."

Aya tahu apa maksud Geby, tapi dia tak berani berbicara pada teman sekelasnya hanya untuk memperingati mereka. Dia tahu, mereka tidak akan percaya dan mungkin akan menertawakannya.

"Sahabat lo kenapa, Ya? Sok-sokan ngerasain kehadiran makhluk halus lagi?" Gita yang lebih dulu sadar gerak-gerik Geby, berseru dengan nada meremehkan.

Seruan itu membuat Geby yang tengah menunduk dengan mata terpejam menjadi pusat perhatian seisi kelas. Termasuk Abi yang tadinya sedang membaca buku mengenai sejarah manusia menurut sains.

"Ada Shania di sini." Geby bersuara dengan serak, napasnya memendek seiring dengan energinya yang terkuras.

Tawa sarkas terdengar dari gadis mungil yang sedang memilin rambut curly—–nya. "Shania udah mati, masih aja halu."

We Are DifferentTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang