18. Teror Beruntun

23 9 0
                                    


Ayunan kaki itu melambat, kemudian berhenti dalam sekejap. Ia menoleh ke kanan dan ke kiri, memastikan bahwa hanya ia sendiri di sana. Kemudian tatapannya kembali jatuh ke pintu yang tertutup rapat di depannya, jika memang hanya dia sendiri di sini, siapa yang menempel kertas dengan tulisan tercetak hitam ini? Dahinya menjadi gatal untuk memikirkan ini, sehingga tangannya refleks naik untuk menggaruk.

"Good morning, Sisil." Ia menoleh cepat, dan mendapati Iqbal dengan senyum cerahnya.

Kepalanya terangguk pelan, kemudian membalas dengan gumaman, "Morning too."

"Kenapa gak langsung masuk?" Pemuda itu agak bergeser agar bisa menyamakan posisi dengan Sisil dan ikut memperhatikan apa yang gadis polos itu perhatikan.

JANGAN DIBUKA SEBELUM ANGGOTA KELAS LENGKAP!

"Ulah siapa, nih?"

Sisil mengedikkan bahu untuk menjawab pertanyaan Iqbal, dirinya juga tak tahu-menahu.

Bunyi langkah kaki yang terdengar seperti buru-buru, membuat dua murid berbeda gender itu menoleh bersamaan dan mendapati Gilbert dengan wajah masamnya.

"Kenapa gak nungguin gue?" Gil segera bertanya selepas tiba di sebelah Iqbal.

Sahabatnya itu menyengir, dan menjawab dengan perasaan tak enak, "Takut telat."

Alis sebelah kanan Gil yang utuh—tak seperti alis kiri yang digores—terangkat, alasan klise yang diberikan Iqbal benar-benar tidak bisa diterima. Dia tahu, mungkin benar jika Iqbal takut telat, sebab dia juga tidak mau telat. Tapi, sekarang saja baru jam 06.02, tidak mungkin sekali takut telat di jam begini.

Gil manggut-manggut, berhasil menerka apa yang terjadi dengan sahabatnya ini. Jujur saja, dia sudah merasakan perbedaan sifat yang Iqbal tunjukkan sejak kemarin malam selepas pulang dari rumah wali kelas mereka. Mulai dari Iqbal yang menolak pulang bersamanya, kemudian ajakan makan malamnya yang ditolak juga oleh Iqbal, hingga pagi ini tiba-tiba saja Iqbal tidak mau berangkat bersamanya dan memilih naik taksi dengan alasan takut telat. Gil tahu, itu hanya alibi.

"Lo lagi ngehindarin gue gara-gara ucapan Naomi kemarin?" Pertanyaan itu langsung menohok pertahanan Iqbal, membuatnya mengalihkan pandangan ke mana saja, asal jangan bertemu pandang dengan Gil.

Gil mendengus, "Kita udah sahabatan sejak SMP, masa cuman karena omongan gak berdasar dari Naomi, lo jadi ngehindarin gue gini," katanya.

Akhirnya, Iqbal mendapat keberanian untuk menatap Gil. Pemuda itu mengulum bibirnya, sebelum akhirnya membuka suara, "Gue cuman gak mau dianggap manfaatin, lo."

"Kalian lagi omongin masalah apa?" Mulut Gil yang tadinya ingin membalas, terkatup kembali setelah mendapati pertanyaan dari Sisil. Gadis itu memiringkan kepalanya agar dapat melihat jelas wajah Gil yang tetap tampan meski sedang muram.

"Forget it," tutup Gil sembari mengibaskan tangannya di depan wajah.

"Betah banget berdiri di luar." Ucapan itu datang bersamaan dengan datangnya sang sosok yang sedang merangkul santai kekasihnya.

"Kalian kenapa belum masuk?" Gadis yang dirangkul itu bertanya seraya memandang tiga 'teman sekelasnya' dengan bingung.

Iqbal mengedikkan kepalanya ke arah pintu, memberi isyarat sehingga dua makhluk yang adalah Novan dan Vanes, membaca sendiri tulisan di pintu.

"Kerjaan orang iseng kali! Masuk aja, yuk!" Langkah Novan yang menarik Vanes dalam rangkulannya terhenti kala tangan Gil terangkat lurus dan menahan tepat di perutnya.

We Are DifferentTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang