8 -Kota hujan [revisi]

25 2 1
                                    

8. Kota hujan

Nazhira berjalan ke arah lemari pakaian. Mengambil beberapa baju untuk dibawah mudik besok. Tak lupa juga ia membawa jilbab untuk dipakai sehari-hari selama ia di Bogor.

Nazhira memasukan satu persatu bajunya ke dalam koper kecil. Sesekali ia bersenandung, senang akhirnya ia bisa mudik.

“Selesai,” seru Nazhira sembari meletakkan kopernya di samping nakas tempat tidur.

Nazhira berbaring di kasur. Gadis dengan memakai piyama Dongker dan hijab bergo maryam dengan warna burgundy itu sedang menatap langit-langit kamarnya.

Nazhira melihat jam di handphone nya. “Jam sembilan, nasgor Mang Kiwil enak nih.”

Nazhira mengambil uang dua puluh ribu rupiah di saku baju Pramuka nya yang tergantung di belakang pintu kamar.

“Hai baby Arfa... Kok belum tidur udah malem loh.” Nazhira berjongkok di samping Arfa yang sedang asik bermain, mulutnya tidak berhenti mengoceh, Nazhira tidak mengerti bahasa bayi. Disamping Arfa ada Shila yang sedang menonton tv.

“Kak aku mau beli nasi goreng, mau nggak?” Tanya Nazhira pada Shila.

Shila menoleh pada Nazhira. “Nggak deh, udah kenyang Kakak."

“Ya udah.” Nazhira menciumi pipi gembul Arfa bertubi-tubi karena gemas sendiri melihat bayi mungil itu. Terakhir Nazhira menggigit pipi gembul Arfa membuat bayi itu seketika menangis karena terganggu.

“Jangan digituin Zi,” tegur Shila melihat Nazhira yang tak kunjung usai menjahili Arfa.

“Haha... Gemes banget sih ponakan gue.”

“Zi!” Tegur Shila lagi, melihat Nazhira yang terus menganggu Arfa.

“Iya-iya... Dadah bayi gemoy.”

Shila menghela nafas sembari menepuk pelan bokong Arfa agar tidak menangis lagi. Nazhira menoleh kebelakang, gadis itu terkekeh dengan dua jari yang terangkat ke atas membentuk huruf v.

Sorry,” ucap Nazhira sembari keluar rumah.

Begitulah Nazhira, tidak bisa melihat seorang anak kecil yang gemesin. Dicubit lah pipinya, dicium terus lah, sampai digigit pipinya kalau belum Arfa nangis belum berhenti untuk menjahilinya.

Nazhira berjalan sambil melihat-lihat sekitarnya. Karena gerobak Mang Kiwil tidak terlalu jauh dari rumahnya, jadi Nazhira berjalan kaki. Sesampainya di penjual nasi goreng Nazhira memesan satu piring namun tidak di bawa pulang. Nazhira duduk di kursi plastik. Di sana tidak terlalu ramai hanya ada beberapa orang saja. Beberapa menit menunggu akhirnya nasi goreng pesanannya datang juga. Nazhira melahap dengan nikmat. Nasi goreng buatan Mang Kiwil memang tiada duanya. Harganya pun murah meriah lengkap dengan potongan sosis dan ikan teri yang gurih membuat Nazhira tidak berhenti untuk terus memakannya. Jika di kantin sekolah ia makan nasi goreng buatan Bu Ida, maka di komplek perumahan nya ia makan buatan Mang Kiwil. Dua tempat ini menu nasgor favorit nya.

“Nasi gorengnya dua nggak pedes ya,” kata seseorang sembari menggendong anak kecil perempuan dengan rambut yang di ikat dua seperti tanduk kuda.

Seseorang itu duduk di kursi dekat gerobak Mang Kiwil sembari memangku anak kecil yang di gendongannya tadi. Ia melihat ke samping kiri terdapat seorang perempuan yang sedang menunduk sedang mengambil handphone nya yang terjatuh.

Perempuan itu menoleh dan tersentak melihat ada seorang laki-laki duduk di sampingnya. Nazhira melirik anak kecil yang berada di pangkuan laki-laki itu.

MEMORIES [revisi]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang