15 -Lapangan upacara [revisi]

15 2 0
                                    

15. Lapangan upacara

Nazhira membuka perlahan pintu kamar Risa, tidak di kunci. Dengan ragu ia menyembulkan kepalanya di sela pintu. Dilihatnya Risa yang ingin duduk dan bersandar pada kepala kasur. Saat pandangannya mengarah ke pintu, Risa tersenyum tipis dan menyuruh Nazhira untuk segera masuk.

Nazhira mengikuti arahan Mamanya, ia menutup pintu itu dan berjalan menghampiri Risa yang kini tengah merentangkan tangannya, meminta Nazhira untuk masuk ke dalam dekapannya.

Nazhira duduk di pinggiran kasur, ia menerima pelukan itu dengan cepat dan langsung menyenderkan kepalanya pada dada Risa.

Nazhira begitu cemas, tadi setelah sampai di Bogor Nazhira di telepon oleh Shila untuk tidak menyusul ke rumah sakit dikarenakan Risa sudah kembali ke rumah dan tidak rawat inap.

Berada di pelukan Risa membuat Nazhira begitu nyaman.

Pelukan seorang ibu adalah obat dari kesedihan.

Risa mengelus kepala Nazhira yang terlapisi oleh jilbab kemudian tangannya turun mengusap bahu Nazhira sesekali ia menepuknya lembut.

Nazhira mendongak, menatap Mamanya. Wajah cantik itu terlihat pucat dengan bibir kering dan pecah-pecah. Tapi Risa malah membalasnya dengan seulas senyuman yang sangat tulus.

“Ma..,” lirihnya dengan sorot mata sedih.

“Jangan sakit lagi,” pinta Nazhira dengan suara bergetar.

Risa tersenyum, tangannya kembali mengusap kepala Nazhira dengan sayang. “Mama nggak sakit.”

“Tapi masuk UGD?”

“Nggak apa-apa sayang, Mama cuma kecapean di toko tadi lumayan rame.”

Nazhira kurang yakin dengan jawaban Mamanya, tapi ia mencoba untuk biasa saja seakan percaya apa yang diucapkan oleh Risa.

Nazhira mengeratkan pelukannya dan menenggelamkan wajahnya di dada Risa.

Cukup lama mereka ada di posisi itu, sampai akhirnya terdengar suara isakan kecil dari mulut Nazhira.

Risa terlonjak kaget, tapi ia langsung mengusap punggung anaknya untuk menenangkan. Bukanya berhenti, Nazhira semakin menjadi.

Risa mengangkat wajah anaknya, diusapnya wajah itu dengan lembut sesekali menghapus air mata Nazhira.

“Kenapa nangis? Ada yang jahatin Zi?”

Nazhira berjalan mengelilingi tempat tidur kemudian ia perlahan duduk di atas kasur dengan tangan yang memeluk lengan Risa, juga menyenderkan kepalanya di bahu Risa.

“Enggak ada yang jahatin Zi kok Ma. Temen Zi baik-baik semua.”

“Kamu sakit?” Risa meletakkan punggung tangannya di kening Nazhira, tidak panas.

“Nggak panas,” gumam Risa.

Terdengar helaan nafas berat dari mulut Nazhira, Risa menyenderkan pipinya di kepala Nazhira.

Nazhira membentuk pola abstrak pada lengan baju Risa. Risa yang paling tahu tentangnya, sekuat apapun ia menyembunyikan sesuatu, Risa bisa menebaknya.

MEMORIES [revisi]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang