Ellena memandang Aaron yang tengah memejamkan matanya dengan perih, tidak pernah terbayang di benaknya kalau pria yang menjadi kekasihnya mengalami peristiwa seburuk itu. Jari lentik wanita tersebut merapikan helai rambut yang menghalangi pemandangannya.
Senyum getir dilayangkan, setelah tiga puluh menit dia membiarkan Aaron beristirahat di bathtub, dia memapah pemilik penthouse dan mendudukannya di samping ranjang. Desain kamar Aaron terlihat monokrom dan simple. Hanya ada ranjang, walk in closet di sebelah, jendela yang tertutup tirai hitam dengan meja kerja panjang di depannya. Sudah jam lima, sudah waktunya memulai hari tetapi, dia membiarkan Aaron tertidur selama yang dia mau.
"Maaf karena terlambat menyadarinya." bisik Ellena penuh sesal, tangannya mengambil tangan Aaron untuk digenggam erat dan menidurkan kepalanya di sana. Terbayang cerita kelam Aaron di benaknya.
Delapan belas tahun yang lalu,
18 April 2001
Manhattan, New York"Dasar wanita tidak berguna! Untuk sepiring nasi untukku tidak ada! Kemana uangku selama ini?"
Suara benda aluminium beradu dengan kerasnya tanah menimbulkan suara nyaring di indera pendengaran seorang anak berusia delapan tahun yang terdengar biasa baginya. Disambut dengan balasan tak kalah nyaring.
"Apa katamu?! Hei! Berkacalah! Uangmu tidak cukup menghidupi kita berdua apalagi ditambah dengan parasit satu itu. Buat aku emosi saja!"
Kumohon, berhenti, batin anak kecil tersebut sambil menutup kedua telinga dengan telapak tangan mungilnya.
Useless.
Suara-suara nyaring tersebut menerobos benteng tangannya dengan mudah, hingga dia bisa mendengarnya dengan jelas.
"Hey! Kau yang berkaca! Apa kegiatanmu selain tidur dan mabuk-mabukan sampai teler di pinggir jalan setiap hari?! Setidaknya, aku masih lebih waras untuk bekerja dibanding kau!"
Suara berat menyalang dengan baik, sampai anak lelaki itu hanya meringkuk di sudut pintu dan memeluk lututnya. Pemilik suara berat yang biasanya dia panggil 'Papa' diikuti dengan suara nyaring wanita yang dia panggil 'Mama'.
Ah! Tidak, mereka berdua tidak pernah sudi dipanggil seperti itu olehnya.
"Semuanya karena kau, sialan! Kalau saja kau membiarkanku menggugurkannya, hidupku tidak akan sekacau ini, brengsek!"
Suara tamparan terdengar kuat setelah itu, anak lelaki yang sekarang menjadi Aaron itu tidak mau membayangkan siapa yang menampar siapa. Matanya berkaca-kaca dan menguraikan air mata tanpa berniat untuk berhenti. Sampai dia membuka pintu di sudut lainnya dengan tergesa-gesa.
"Mana anak sialan itu? Akan kuberi dia pelajaran! Alvin! Alvin!"
Suara nyaring dari sang wanita membuatnya segera menghempas daun pintu dengan kuat dan kabur dari rumah yang terletak di bawah jembatan. Tungkai kakinya yang kecil dan terlihat seperti tulang dibungkus kulit menapak tanah dengan cepat, tidak peduli akan kemana sepasang kaki ini membawanya.
Aaron menumpu tangannya pada batang pohon yang menjulang tinggi, badannya membungkuk sedikit menetralkan napas, matanya melihat ke belakang. Kosong, helaan napas berubah menjadi hembusan kelegaan.
Lalu dengan langkah pelan, dia menyeret tubuhnya menjauhi rumah. Aku tidak akan bisa pulang lagi hari ini, batin Aaron sambil melihat ke atas. Pandangannya menengadah ke langit didominasi dengan awan gelap.
Dengan umur yang terbilang muda, Aaron bisa mengerti keadaan keluarganya. Mengerti semuanya di usia yang seharusnya dipenuhi dengan banyak kegembiraan khas anak-anak. Mendengar makian yang seharusnya tidak didengar membuatnya terbiasa setiap hari. Tubuhnya kecil karena tidak mendapatkan asupan makan cukup bahkan terkadang tidak mendapatkan jatah makan seharian, rambutnya yang terkesan urak-urakan, tidak mengenyam pendidikan. Tidak jarang dia meringis kesakitan ketika tubuhnya bertemu dengan tangan ibunya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Scar of Love ✔
RomanceAaron memberikan seluruh hidupnya untuk mencari pembunuh sang ayah angkat dan para kekasihnya. Bersama dengan wanita elegan bernama Ellena, dia mengorek informasi yang ada. Tidak disadari kalau dia akan jatuh ke dalam pesona wanita tersebut. Tapi...