Delapan belas tahun yang lalu,
Manhattan, New YorkAnak kecil yang diketahui bernama Alvin tersenyum lebar saat menemukan rumah kumuh di kolong jembatan masih berdiri tegak. Lebih dari tiga hari dia berkeliling untuk menemukan jalan pulang.
Kondisi rumah yang begitu tenang membuat Alvin menginjakkan kakinya ke ke dalam bangunan tak layak tersebut.
"Mama!" Alvin memekik kencang ketika melihat raga wanita yang melahirkannya tergeletak di depan pintu rumah dengan sekujur tubuh bersimbah darah. Tanpa berpikir panjang, anak kecil itu segera mendekati ibunya.
"Mama! Mama! Ma! Bangun!" Alvin berusaha mengguncang tubuh ibunya diiringi dengan isak tangis. Mata wanita yang menggelap karena kekurangan tidur dengan tubuh ringkih itu terpejam tenang.
"Mama!"
Alvin segera keluar dari rumah dan mencari bantuan secepat mungkin. Tubuhnya yang kucel karena debu menabrak tubuh yang berdiri di sisi jalan.
"Paman, tolong bantu Mama! Mama ... Mama tidak bernapas!" racau Alvin sambil menarik ujung kemeja yang dipakai oleh tubuh tersebut.
"Di mana Mamamu? Paman akan membawanya ke rumah sakit."
Alvin segera menggengggam tangan lebih besar darinya dan menuruni tangga yang ada, membawanya ke dalam rumah.
"Paman, tolong selamatkan, Mama."
Ellena menatap iba dengan berkaca-kaca saat mendengar penjelasan Aaron. Setelah tertidur empat jam, Aaron terbangun dan melihat Ellena dengan wajah sembab pasca menangis, tangannya terasa kebas telah dibalut dengan kain dan kasa, Aaron menduga wanita itu yang mengobatinya.
Aaron berusaha bangkit dan mendudukkan dirinya di tepi ranjang sambil membawa Ellena ke sebelahnya. Berselang lima menit, Aaron menceritakan semua masa lalunya dan begitulah wanita tersebut hampir menangis membayangkan masa kecil yang tidak bisa dikatakan bahagia seperti yang lainnya.
"Nak, dokter mengatakan Mamamu telah pergi ke tempat yang lebih indah."
Ucapan Paman asing tersebut membuat Alvin menahan isak tangisnya kembali, "Mama ... kemana, Paman?"
"Namamu siapa, Nak?"
"Alvin."
Paman tersebut tersenyum dan mensejajarkan tinggi badannya dengan tinggi anak laki-laki tersebut, kedua tangannya mendarat di bahu sempit sang anak, "Mamanya Alvin ke tempat yang lebih indah dari sini. Mamanya Alvin bahagia di sana."
"Kalau begitu, Mama bawa Alvin ke sana," ucap Alvin dengan tatapan berbinar polos menahan tangis.
"Tidak, Alvin. Mamanya Alvin ingin Alvin bahagia di sini." tutur pria di usia akhir tiga puluhan tahunnya.
Alvin menunduk perlahan, raut wajah yang menjadi sendu itu mengundang tatapan tanya dari pria yang lebih tua, "Tapi, Alvin tidak punya siapa-siapa di sini. Alvin tidak bahagia. Apa Paman tidak bisa membujuk Mama untuk membawa Alvin ke sana?"
"Alvin tidak punya Papa?"
"Papa tidak ada saat aku pulang, Paman."
Sang pria menatap malang anak kecil di usia sepuluh tahunnya tersebut, "Alvin, mau ikut dengan Paman sarapan? Paman belum makan. Alvin sudah makan?"
"Alvin tidak pernah sarapan. Kata Mama, Alvin tidak pantas untuk makan, Paman."
Pria tersebut menatap iba sang anak di depannya, mengambil ancang-ancang dan menggendong anak tersebut yang terasa lebih ringan dari anak seusianya. Matanya tersenyum saat melihat Alvin terkejut dengan sikapnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Scar of Love ✔
RomanceAaron memberikan seluruh hidupnya untuk mencari pembunuh sang ayah angkat dan para kekasihnya. Bersama dengan wanita elegan bernama Ellena, dia mengorek informasi yang ada. Tidak disadari kalau dia akan jatuh ke dalam pesona wanita tersebut. Tapi...