🍁 18 [The Truth Behind Him]

6 2 0
                                    

Ellena menepuk pelan pipinya dengan cushion sambil mematut di depan cermin, senyum bahagia masih terpahat di wajahnya setiap dia memikirkan kemarin yang terasa seperti mimpi baginya. Sembari merapikan ujung rambutnya, dia mengaca. Sebelah tangannya meraih tas putih yang sesuai dengan setelah kantornya pagi ini.

Menutup pintu kamarnya dengan pelan sebelum menuruni tangga, pemilik penthouse ini pasti sudah berangkat kerja mengingat Aaron sudah pamit padanya saat sarapan tiga puluh menit yang lalu. "Aaron?" ucapnya terselip rasa ragu di sana.

"Kamu sudah siap?" tanya Aaron tanpa menjawab pertanyaan yang dilemparkan oleh Ellena, dia menepuk pelan celananya saat berdiri dari sofa, gawai yang berada di tangannya disakukan kembali ke tempatnya.

"Sudah. Ada apa? Kamu ketinggalan barang? Mau kubantu cari?" Ellena berjalan sampai ke anak tangga yang pertama dan menyampiri Aaron untuk merapikan kerah jas pria tersebut.

Aaron hanya tersenyum, tangannya merengkuh pinggang wanita tersebut, "Kamu. Aku lupa untuk mengajakmu ke kantor bersama, love."

Ellena tersenyum tipis nan malu, dia berusaha meredam jantungnya yang mulai memompa darah berlebihan, "Kalau begitu, ayo! Kita berangkat bersama." Wanita tersebut menggapai tangan besar Aaron dan berjalan beriringan sampai ke mobil hitam sang pria.

Dia sudah terbiasa diperlakukan seperti seorang ratu oleh bawahannya, tetapi dibukakan pintu oleh Aaron dengan status yang lebih diantara mereka membuatnya terasa dihinggapi kupu-kupu di perut. Netranya melihat ke sebelah sisinya yang diduduki oleh Aaron.

"Kamu terlihat bersemangat hari ini," ucap Aaron setelah menjalankan mobil untuk keluar dari basement penthouse.

"Begitukah? Mungkin karena kemarin. Sudah lama tidak ke pantai. Thank you, love."

Aaron tersenyum sebagai balasan. Kemarin adalah salah satu hari terbahagia dari banyaknya hari yang dia jalani. Dia ingin melihat Ellena seperti ini setiap hari, melihat senyum wanita tersebut menjadi sebuah kesukaannya baru-baru ini.

"Tidak merasa lelah?" tanya Aaron lagi.

Yang ditanya menggeleng kepalanya, dia mendapatkan waktu istirahat yang cukup dari perkiraannya. Percaya atau tidak, Ellena beristirahat di mobil saat Aaron mengemudi kembali ke penthouse, dan melanjutkan tidurnya saat bertemu dengan kasur. "Daripada aku, kamu lebih lelah. Pasti lelah mengemudi sejauh itu, seharusnya aku terjaga dan menawarkanmu bantuan." balas Ellena dengan nada murung.

"Sungguh bukan masalah besar. Aku selalu mengendarai mobil di berbagai kesempatan."

Ellena kembali menyunggingkan senyum yang sempat hilang, "Aku semakin bingung,"

Lontaran kalimat dari wanita di sisinya membuatnya kebingungan. Tidak membalas perkataannya, wanita itu masih ingin melanjutkan kalimatnya tadi.

"Bukankah seharusnya kemarin itu Gyan memiliki banyak kesempatan yang bagus?" tanya Ellena yang membuat suasana menyurut.

"Masih pagi untuk membicarakan tentang dia."

Yang dibalas hanya berdecak pelan, "Aku takut terlupakan. Kemarin kita berdua lengah. Menurutku, psikopat gila itu seharusnya mengikuti kita sampai ke pantai. Bahkan mungkin, sampai kita pulang ke rumah."

Aaron hanya diam, belum merealisasikan pemikirannya dan lebih fokus membelah jalanan kota Manhattan yang telah beraktifitas. Dan, dia mengawasi kita selama lebih dari delapan jam? Dia tidak memiliki pekerjaan bermutu, batin Aaron sambil memutar kemudi ke arah kanan.

"Aku tahu terlihat mustahil. Tetapi aku membaca di sebuah artikel, orang seperti Gyan itu bisa merealisasikan kenyataan tersebut. Gyan akan terus melancarkan permainannya, kalau kita bisa mengacaukan satu dari sekian banyak susunan permainan miliknya, kita bisa melawannya."

Scar of Love ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang