Seorang wanita melenguh pelan sembari mengerjapkan matanya beberapa kali karena cahaya memaksa masuk untuk ke dalam retinanya. Tangannya berusaha bergerak untuk mengucek mata namun tidak akan pernah bisa.
"Sudah sadar? Cepat juga, kamu yang paling cepat bangun diantara yang lain."
Suara lembut sekaligus menyeramkan membuat wanita tersebut tersadar dan melihat sekitarnya dengan mimic terkejut. Ruangan yang berukuran kecil hanya tiga empat meter dikali empat meter terasa mencekam dengan sebuah bohlam gantung watt yang tidak lebih dari 10 memancarkan cahaya kekuningan.
Apalagi ruangan tersebut terasa kosong karena tidak banyak fasilitas di sana dan dia tidak bisa melihat siapa pemilik suara tersebut karena hanya warna hitam yang dia lihat.
"Dorine Halsey Miles." Suara tersebut terdengar dan memanggil namanya. Dia semakin ketakutan saat terbesit sebuah ingatan dimana dia berada di kamar pribadinya terakhir kali untuk beristirahat dari kejamnya dunia.
Langkah alas kaki terdengar, Dorine bisa mengetahui kalau itu adalah jenis alas kaki high heels. Pemilik suara berdiri di depannya.
"Untuk dilihat dari dekat kamu cantik dan terlihat lugu." Sambungnya lagi. Pupil Dorine terasa mengecil saat melihat seringai kejam terulas di wajah pemilik suara tersebut.
"Tipe Aaron kali ini berbeda dengan sebelumnya. Kamu pasti tahu kehidupan romantis Aaron Theodorus kalau melihat siaran televisi. Iya, kan, chef?"
Dorine ingin berontak namun untuk menggerakkan tangan saja dia tidak mampu. Tangannya terasa dibius lemah untuk tidak sanggup bergerak. Dia tentu tahu karena selalu melihat siaran. Merasa sia-sia, tatapannya mengarah pada pemilik suara tersebut, "Siapa kamu?"
Pemilik suara tersebut menyeringai, "Kamu tahu siapa aku kalau kamu melihat televisi, cantik."
"Akh!"
"Iya, kan, manis? Bukankah kamu menyukai Aaron? Maka ini resiko yang kamu terima." Timpalnya dengan senyum mengerikan, puas dengan karyanya di pipi kiri Dorine, warna merah darah membekas di pisau silet di tangan kanannya.
"Sakit, Dorine?"
Dorine meringis, matanya berkaca-kaca membendung tangisan, "El ... Ellena."
"Hi, terkejut melihatku?" tanya suara yang dia dengar sedari tadi. "Sayangnya, kurang cantik. Sebentar, ya, aku akan membantumu."
"Akh!" pekik Dorine tertahan.
Ellena tertawa mengerikan setelah berhasil menambah maha karyanya di tempat yang sama namun terletak di atas. Pisau siletnya kembali melayang ke lengan kiri wanita yang berkecimpung di dunia kuliner, lima kali sayatan dilayangkan setelah itu.
"Kau psikopat, brengsek."
Ellena mengusap pisau silet di pipi kiri Dorine yang terluka, menimbulkan ringisan kesakitan oleh pemilik wajah tersebut.
"Kita akan bermain sembari menunggu pangeran kuda putihmu datang, Dorine."
"No!"Aaron bergerak gelisah, matanya secara konstan melirik layer ponsel yang masih menyala terang menunjukkan satu titik merah yang masih jauh dengan posisinya. Titik merah yang berada di dalam kawasan sepi dan membawanya pada masa lalunya yang kelam.
Tentu, dia masih ingat seluk beluk teritori tersebut. Sepasang netra gelapnya terus melihat ke samping menembus kaca gelap pada satu sisi. Bentangan lautan di matanya terlihat sama dengan delapan belas tahun silam, tidak banyak yang berubah selain kawasan ini semakin ditanami banyak pepohonan.
"Lurus terus dan belok kiri saat ada pertigaan di depan," kata Aaron dengan cepat. Sang supir yang membawanya itu mengangguk sesekali melihat layar di depannya yang mengawal mereka untuk sampai pada tujuan.
Semakin dalam mereka memasuki kawasan pepohonan tersebut, semakin banyak memori masa lalunya terus diingat oleh Aaron bagaikan kaset rusak yang tidak akan pernah berhenti.
Aaron memejamkan matanya sembari mencubit punggung tangan dengan kuat, ratusan ucapan permintaan maaf diteruskan kepada langit malam jam sebelas, berharap kalau yang di sana akan mendengar penyesalannya.
Tinggal satu menit lagi dia akan sampai pada tujuan, titik merah itu terasa semakin dekat seiring dia melihat pepohonan yang menjadi arena untuk melarikan dirinya belasan tahun lalu. Dia segera menelepon orang yang selalu berada di sampingnya.
"Lakukan perintahku sekarang. Usahakan datang dalam waktu lima belas menit dan berhenti di lokasi yang kukirim. Masuk saat mendengar suara tembakan."
"Baik, Tuan."
Hubungan komunikasi tersebut terputus setelah mendengar jawaban yang dia inginkan.
Mobil besi itu berhenti di hamparan pasir yang luas. "Kita sudah sampai, Tuan," kata sang supir setelah memastikan lokasinya.
Kita akan mengakhirinya sekarang, sayang, batin Aaron sambal melihat titik merah semakin menyala menandakan kalau mereka hampir sampai.
"Baik. Kamu di sini sebagai tanda kepada Hendery kalau sudah sampai," ucap Aaron sebelum membuka pintu mobil dan melihat sekitar dengan flashlight bantuan ponsel. Terdengar deru ombak dan pentofelnya menginjak pasir, melihat sekitar yang ditumbuhi oleh pohon kelapa berjarak sama satu sama lainnya.
Aaron memicing saat melihat sebuah bangunan bertingkat satu yang dibangun di tepi pesisir. Dengan ragu dia membuka pintu bangunan tersebut dan masuk ke dalam, tubuhnya tersentak ke belakang saat cahaya dari dalam otomatis menyala.
Dia mengirimkan pesan kepada Hendery dan kembali menyisir bangunan tersebut. Bangunan yang dirancang mirip dengan sebuah rumah itu membuat Aaron kebingungan, karena ada empat pintu di sana. Tetapi, matanya memicing ke pintu pertama di sebelah kiri dan menghampirinya.
Matanya membulat saat bagian dinding bisa didorong dan semakin terkejut saat lantai keramik di sampingnya langsung membuat akses masuk ke bawah dengan anak tangga. Aaron jongkok dan mengarahkan ponsel ke bawah.
Begitu gelap.
Gelap yang membuatnya yakin kalau Dorine berada di bawah sana ... bersama Ellena.
KAMU SEDANG MEMBACA
Scar of Love ✔
RomanceAaron memberikan seluruh hidupnya untuk mencari pembunuh sang ayah angkat dan para kekasihnya. Bersama dengan wanita elegan bernama Ellena, dia mengorek informasi yang ada. Tidak disadari kalau dia akan jatuh ke dalam pesona wanita tersebut. Tapi...