Entah apa yang membuat Hafidah ingin terus menetap di rumah sang Nenek. Terhitung sudah hampir seminggu ia di Bandung. Zidan bahkan dibuat kualahan karena dengan terpaksa harus meminta cuti lebih lama pada Ummi.
"Mas engga enak sama Ummi dek.."
"Ish! Kan udah di kasih cuti, gapapa maaas"
"Iya tapi tetep engga enak sama karyawan lain.."
Decakan Hafidah terdengar dengan tubuh yang ia palingkan menghadap hamparan bunga dengan beberapa pohon lain di depan pendopo.
"Bilang aja mau ketemu atasan mas yang masih muda itu kan? Atau engga mba Mira, ngaku!"
"Astaghfirullah.. engga sayang"
Hafidah tidak membalas,
Tubuhnya ia sandarkan pada bantal yang mereka bawa tadi. Menikmati angin sore yang begitu sejuk dengan cuaca yang begitu bagus hari ini."Mas cuti lama tapi gaji utuh, engga adil sama yang lain.. kerjaan mas juga banyak yang ketinggalan"
"Yaudah mas balik aja, Hafidah masih mau disini. Ada abang juga sama Kak Sarah"
Hembusan nafasnya terdengar,
Tubuhnya ikut bersandar dengan tangan yang terulus memeluk pinggang ramping Hafidah.Pahatan wajah ciptaan sang kuasa itu Zidan tatap dalam. Rasa syukur itu ia ucapkan ketika wajah sempurna itu ia tangkap dengan damai.
Bukan hanya fisik, akhlak dan seberapa istiqomahnya sang istri membuatnya terus bersyukur karena telah dipertemukan dengan Hafidah.
"Minggu malem pulang ya?"
Kepalanya menoleh,
Dengusannya terdengar dengan tubuh yang ia geser menjauh. Merasa sebal ketika lelaki itu akan benar-benar pulang ke jakarta."Yaudah, Hafidah engga ikut"
"Kenapa? Ntar mas sama siapa di rumah?"
"Mba Mira, tetangga depan"
Tubuhnya mendekat,
Kepalanya terbenam di bahu sempit Hafidah dengan hidung yang menghirup aroma tubuh Hafidah yang sangat candu untuknya.Wangi bayi itu sangat mendominasi.
"Mas ntar pulang ke Bunda aja, tempat kerjanya juga engga terlalu jauh kalo dari sana"
"Terus rumah?"
"Ntar mas pulang buat ngecek"
"Ketemu mba Mira"
Ini yang Zidan suka. Wajah cemburu yang terlihat jelas di wajah sang istri membuatnya terus merasa jatuh pada wanita itu. Wajah menggemaskan dengan bibir yang mencibik, itu adalah pemandangan yang sangat sayang untuk dilewati.
Lantas cubitan kecil itu ia berikan pada sebelah pipi gembilnya, lalu disusul dengan kecupan gemas disana.
"ADEEEEK"
"Hafidah di bawah Abaaaaang!"
Teriakan itu di balas tidak kalah kuat oleh Hafidah. Tidak lama derap langkah itu terdengar, menampilkan Arya dengan kantung makanan yang lelaki itu bawa.
"Apa itu?"
"Donat, tadi abang pergi keluar sama terus beliin ini buat kamu, suka kan?"
Wajah cerianya terlihat, berbeda dengan sebelumnya. Kepala Zidan menggeleng kecil ketika tangannya yang semula melingkar di lepaskan begitu saja.
"Abang kok engga ajak Hafidah?"
"Kamu sama bang Zidan terus dari tadi, ntar ganggu"
Hafidah menoleh pada sang suami dengan kantung donat yang Arya bawa tadi. Lantas kembali menoleh ketika suara Arya terdengar,
KAMU SEDANG MEMBACA
CAKA
Teen FictionCintai Aku Karena Allah (CAKA) "Jarak usia bukan patokan seseorang buat berjodoh mas, Hafidah sama sekali engga nyesel punya suami yang jarak usianya jauh sama Hafidah. Justru Hafidah bangga punya suami sholeh kayak mas" -Hafidah