24). Tidak Lama Lagi

204 43 16
                                    

Harinya semakin sulit Hafidah jalani,
Usia kandungan yang terus bertambah seiring berjalannya waktu membuat pengawasan Zidan maupun keluarga semakin kuat kala Hafidah bebal dengan permintaannya.

Zidan takut, jelas saja. Terlebih saat Hafidah ingin membantunya untuk memindahkan meja makan kala itu.

Bagaimana bisa ia terus bersikeras ingin membantu Zidan dalam hal-hal yang berat? Atas hal itu Hafidah sering mendapat omelan sang Ummi. Pun dengan Arya yang sudah sangat takut jika keponakan kecilnya itu akan keluar secara tiba-tiba.

"Udah kamu masak aja, biar mas yang cuci piringnya"

"Tugas Hafidah itu ish.. mas duduk aja sana"

"Engga, kamu fokus masak aja"

"Gak mau, mas duduk cepetan"

"Adek, Hafidah, Humairah nya mas, sayang.. nurut ya?"

"Engga"

Hembusan nafas Zidan terdengar,
Tangannya beralih mengelus sang buah hati didalam sana, sudah semakin besar jika diingat kurang lebih satu bulan lagi jagoan kecilnya akan segera hadir.

"Nak, liat Mama kamu engga nurut sama Ayah"

Hafidah melirik,
Tangannya masih fokus mengaduk sayur yang ia buat.

"Aduh!"

Zidan terkekeh,
"Ditendang kan.. mangkanya nurut sama mas"

"Mas curang"

Hafidah beralih,
Memilih untuk duduk di kursi meja makan setelah kompornya sudah ia matikan. Membiarkan sang suami yang memindahkan itu, ingat jika beberapa minggu lalu Zidan tidak mengizinkannya lagi untuk memindahkan Sop panas itu setelah kejadian dimana Sop itu tumpah hampir mengenai tubuh Hafidah.

Hal itu jelas membuat Zidan merasa khawatir.
Takut jika kejadian seperti itu kembali terulang pada sang istri juga calon anaknya yang masih didalam rahim Hafidah.

"Pertengahan bulan besok mas udah ngambil cuti"

"Boleh?"

"Alhamdulillah.. atasan mas izinin sampe kamu lahiran, mereka juga mau main nanti.. boleh?"

Tatapan itu Zidan dapati,
Lantas senyum kecilnya terlihat dengan kaki yang beranjak mendekat pada Hafidah. Memberikan kecupan kecil pada dahinya dengan tangan yang masih penuh dengan sabun cuci piring.

"Kalo kamu risih gapapa kok sayang.."

"Hafidah engga suka kalo mas suka bawa temen karyawan mas kerumah"

"... Apalagi perempuan"

Sejak kejadian itu,
Saat ini Hafidah memang lebih terang-terangan padanya. Tentang apa yang ia suka atau tidak suka, Hafidah benar-benar akan mengungkapkan itu langsung padanya.

Tubuhnya beralih, menyelesaikan beberapa pisring yang belum terbilas. Lantas ketika selesai, kakinya kembali mendekat, beralih pada Hafidah yang tengah memotong beberapa buah disana.

"Engga lagi sayang, maaf ya.."

Senyuman kecilnya Zidan dapati dengan satu potong buah yang Hafidah serahkan padanya.

"Hafidah kadang suka takut.."

"Kenapa takut? Kan ada mas"

Hafidah mengangguk, hembusan nafasnya terdengar dengan satu potong buah lagi yang ia serahkan pada sang suami.

"Tapi nanti Hafidah sendiri yang berjuang buat anak kita"

Senyum teduh Zidan terlihat,
Tangannya terulur mengambil pisau yang Hafidah pegang, meletakannya di atas meja dan beralih menggenggam tangan yang lebih mungil. Menatapnya dalam dengan senyum yang tidak luntur dari wajahnya.

CAKATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang