Satu pekan sudah Hafidah menghabiskan waktu di Bandung bersama Zidan. Meminta kembali waktu pada sang suami untuk menghabisi masa liburnya.
Kembali pulang ke rumah pada minggu sere dengan memulai aktivitasnya pada di senin pagi. Terasa lelah memang, tetapi itu memang kewajiban bukan? Mereka bulan lagi sendiri, melainkan sudah menjalin hubungan yang lebih serius untuk dijalani.
"Mas mau ke kantor siangan, kamu gapapa kan mas tinggal sebentar?"
Dentingan sendok yang semula terdengar, kini terdiam dengan kepala yang menoleh beralih menatap Zidan.
"Gapapa atuh.. mas juga biasa kerja kan?"
"Iya.. barangkali kamu mau ikut"
"Emang gapapa?"
"Ya engga, kan ntar mas langsung kerja"
"Tadi nawarin.. tapi jadwal pulangnya lebih lama atau lebih cepet dari klinik Ummi?"
"Lebih lama, kadang suka engga sesuai jam pulang. Jadi ya.. nikmatin aja, engga enak juga kalo ikutin jam pulang tapi atasan masih ada di ruangan kan?"
Sebenarnya Hafidah sedikit tidak setuju.
Tetapi jika ia egois, kemana lagi Zidan akan mencari kerja?"Mas janji jangan kayak di klinik Ummi lagi"
Tatapan bingung itu terlihat,
"Jangan gimana?""Care banget sama semua karyawan perempuan, ada yang ngajak ngobrol langsung di jawab.. padahal kan dia cuma basa basi biar bisa bincang sama mas"
Hafidah tau, pasalnya sang Ummi pernah bercerita sebelumnya. Tentang seberapa 'tidak enak hatinya' sang suami hingga semua obrolan juga sapaan itu ia tanggapi.
Ummi tidak berniat untuk mengompori,
Hanya ingin memberi tau kala pertanyaan Hafidah terus terdengar hampir setiap harinya."Kamu tau sendiri mas kayak gimana.."
"Tapi dulu engga─ kadang-kadang sih. Tapi mas diem-diem suka menghanyutkan"
"Kok?"
"Dulu Hafidah baru pulang dari Dubai tiba-tiba mas deteng Pinang Hafidah"
Senyumnya terlihat,
Ingat kembali pada masa dimana ia begitu berambisi ingin memiliki gadis mungil yang berhasil mengisi ruang hatinya walau hanya dengan waktu singkat."Mas takut kamu kecantol sama yang lain, jadi mas langsung pinang"
"Mana ada.. lagian waktu itu Hafidah engga kepikiran mau nikah juga"
"Tapi mas dateng khitbah langsung diterima.. hayo? Kenapa coba mas mau denger"
Senyumnya ia sembunyikan dengan tubuh yang beranjak bangkit untuk menaru piring kotornya. Berbeda dengan Zidan yang sudah memasang senyum lebar di wajah.
"Suka sama mas juga kan?"
"Hafidah mau cuci piring dulu"
"Padahal mas mau denger, lucu aja kalo inget dulu.. beli cimol ke pasar malem buat pertama kali sampe dikira pengantin baru, padahal kamu masih kecil"
"Maaas!"
Gelak tawa terdengar,
Tubuhnya mendekat memeluknya dari belakang. Melihat istri mungilnya dari samping dengan bahu sebagai tumpuan.Tangannya begitu lihai memegang alat dapur itu, tidak kaku seperti yang ia lihat pada beberapa perempuan umumnya.
"Mas berat jangan gitu"
Bahunya terangkat kala dagunya bertumpu pada bahu sempitnya. Merasa tidak nyaman kala berat Zidan terlalu mengganggunya.
"Mas sayang banget sama kamu, kamu cuma punya mas kan?"
KAMU SEDANG MEMBACA
CAKA
Teen FictionCintai Aku Karena Allah (CAKA) "Jarak usia bukan patokan seseorang buat berjodoh mas, Hafidah sama sekali engga nyesel punya suami yang jarak usianya jauh sama Hafidah. Justru Hafidah bangga punya suami sholeh kayak mas" -Hafidah