Jika ada yang bertanya pada Hari, hal apa yang paling dibencinya, makanya jawabannya adalah menunggu. Menunggu Fanny menerima usulannya menikah dan bertemu dengan Farrel. Sudah dua hari sejak menyatakan ingin menikah, Hari belum mendapat info apa pun dari Fanny. Bahkan dua hari berangkat kantor, wanita itu ngotot menolak ajakannya berangkat bareng. Hari mulai galau. Seandainya dia tahu tempat bekerja kakak Fanny di Bali, dia akan menyambangi calon iparnya itu. Apa yang lagi yang Fanny ragukan padanya? Orang tuanya jelas-jelas yang lebih dulu meminta wanita itu menjadi menantu. Biasanya, wanita paling khawatir berhadapan dengan orang tua kekasihnya. Berbeda dengan Hari, orang tuanya terang-terangan—walau tidak resmi— melamar Fanny. Padahal saat itu mereka belum menjalin hubungan. Dengan fakta ini, seharusnya Fanny tidak perlu meragu.
Memasuki hari ketiga, galau di hati Hari semakin menjadi-jadi. Sudah tak sabar rasanya menunggu jawaban Fanny. Kadang pikiran ekstrimnya berkelebat, datang tanpa info dan langsung melingkarkan cincin di jari manis kekasihnya itu. Mungkin harus begitu agar Fanny menerimanya.
Kembali dari kantor, setelah menyimpan tas kerjanya, melepas jas dan dasi, menggulung lengan kemejanya hingga ke siku, Hari merangsek ke rumah sebelah. Tekadnya sudah bulat, bagaimanapun caranya, hari ini, Fanny harus memberinya kepastian. Dia sudah tidak mau menunggu. Gonggongan Pon-Pon terdengar begitu Hari menekan bel. Tetapi bukan Cicih yang datang membuka pintu seperti biasa, melainkan sosok pria yang tingginya hampir sama dengan dirinya, dengan garis wajah dan mata sangat mirip dengan kepunyaan kekasihnya. Sosok di depannya menatapnya dengan tajam, memindainya dari atas ke bawah dan sebaliknya. Hari terpaku. Tubuhnya tak mampu digerakkan mendapat sorot mata tajam yang hanya berjarak kurang lebih 30 cm saja. Lalu tersadar kalau pria yang yang membuka pintu untuknya adalah kakak dari kekasihnya. Terburu Hari menyapa.
"Selamat malam," sapa Hari sembari membungkuk, memberi hormat.
Farrel menatap pria tinggi yang punya garis wajah tegas dengan rambut-rambut halus dan rapi di sekitar rahang, dagu dan di atas bibir, menyapa dengan sopan. Mungkin pria di depannya inilah yang menjadi topik bahasannya tadi bersama Fanny. Pria yang sudah berhasil mengambil hati adik satu-satunya itu.
"Malam. Mau bertemu siapa?" Farrel sudah tahu, hanya tak mau secepat itu menandai pria yang kini berdiri kaku di depannya.
"Saya ingin bertemu Fanny." Gugup. Itulah yang kini dirasakan Hari. Suara berat yang menanyakan tujuannya seolah ingin menerobos isi di dadanya, mencari maksud lain di baliknya.
"Anda siapa dan apakah sudah janjian sebelumnya?" Waduh, Hari kelabakan tak menduga dengan pertanyaan Farrel. Apa iya harus janjian dulu sebelum bertemu Fanny? Padahal mereka bertetangga, Fanny salah satu karyawan Voidra dan kini adalah kekasih hatinya. Rada rumit kalau begini. Hari mengatur napas berusaha menormalkan resah di hati.
"Saya, Hari. Rekan kerja Fanny." Ragu, Hari mengulurkan tangan yang ternyata langsung disambut Farrel. Leganya Hari. Tadinya dia mengira urulan jabat tangannya akan ditolak oleh kakak Fanny itu. Ternyata sama dengan Fanny, Farrel punya sikap sopan santun yang sama baiknya. "Belum ada janji, tetapi ada hal penting yang akan saya sampaikan padanya." Hari mengatur ucapan yang keluar sedemikian rupa agar terdengar wajar. Tidak terkesan memaksa apalagi tidak sopan.
"Hal penting yang berkaitan dengan apa ya, kalau boleh saya tahu? Pekerjaan atau ada hal yang lain?" Ujian mulai datang menurut Hari mendengar pertanyaan ini. Pertanyaan yang biasa saja, tetapi diucapkan dengan intonasi yang seolah mengintimidasi. Sementara Farrel hampir tak sanggup menyembunyikan senyumnya melihat gugup yang melanda Hari.
"Kerjaan ada, tapi ada hal di luar itu juga," jawabnya dengan gestur dan tatapan yang berusaha meyakinkan pria di depannya agar memberinya akses bertemu Fanny.
![](https://img.wattpad.com/cover/253951431-288-k887212.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
The Sound Of You (Terbit - Faza Citra Production)
RomanceKecelakaan yang dialami Fanny membuatnya harus menerima kenyataan jika dirinya kemungkinan akan lumpuh permanen. Dunia Fanny seolah runtuh. Selain kehilangan kedua orang tua, kekasihnya juga pergi meninggalkannya. Setahun Fanny menarik diri dari per...