Hari tergesa mengambil sepeda keluar dari rumah Fanny dengan perasaan bahagia yang teramat sangat. Jawaban itu akhirnya dia terima. Setelah memasukkan sepeda ke garasi, buru-buru Hari mengambil ponsel dari wrist bag yang dibawanya berolahraga. Dia harus memberitahukan orang tuanya kabar bahagia yang ternyata lebih cepat datangnya. Masa kesendirian itu berakhir sudah.
"Tumben, kamu menelpon mama hari libur gini, Har. Ada apa?" tanya ibunya di ujung sana. Tentu saja ini kejadian langka, karena dia sangat jarang bahkan hampir tidak pernah menelpon di hari libur. Bagi Hari, hari libur sangat dinikmatinya untuk mengistirahatkan pikirannya dari kerjaan dan merilekskan tubuhnya dengan berolahraga.
"Khusus hari ini pengecualian, Ma. Karena ada berita bahagia yang akan aku sampaikan." Hari berhenti sebentar, mengatur napasnya yang terasa sesak efek bahagia yang membuncah dalam dadanya.
"Oh, ya? Berita bahagia apa tuh?" Atau jangan-jangan ini ada hubungannya dengan Fanny? Elsye sangat berharap dugaannya benar.
"Fanny bersedia menjadi pendamping hidup aku. Akhirnya Ma...." Hari tak mampu menyembunyikan rasa bahagianya. Suaranya sedikit bergetar menyampaikan berita bahagia itu. Sepanjang menjalani hubungan dengan wanita, baru kali ini dia begitu bahagia. Penantiannya berakhir sudah.
"Sebentar, kamu nggak maksa Fanny, kan?" Hati ibu mana yang tidak ikut bahagia mendengarnya. Namun di balik itu, Elsye perlu memastikan tidak ada tekanan pada Fanny yang dilakukan putra sulungnya itu. Selama ini Hari sangat santai jika ditanya mengenai wanita yang kelak menjadi pendampingnya mengarungi kehidupan. Kalau sekarang dia terlihat sangat antusias, Elsye khawatir Hari menggunakan kekuasaannya sebagai atasan untuk menekan Fanny.
"Demi Tuhan, Ma, nggak ada paksaan pada Fanny." Ya sedikit sih, tetapi menurut Hari itu bukan paksaan. Momennya saja yang tepat. Seharusnya Hari berterima kasih pada Tio. Karena kehadiran pria itulah yang memicunya meminta jawaban Fanny yang ternyata diberikan oleh wanita itu.
"Oke. Mama ikut bahagia, Har. Semoga kalian bisa cepat-cepat menikah ya. Mama nggak sabar nih lihat kamu bersanding sama Fanny. Tapi perlahan aja ya, Har. Atau baiknya kalian tunangan aja dulu?" Mungkin kesannya terlalu terburu-buru. Namun, jawaban Fanny sudah menjadi awal yang akan mengubah hidup putranya. Ternyata jodoh itu tidak jauh-jauh. Masih satu kerjaan dan bertetangga pula. Padahal mereka hampir menyerah mencarikan jodoh bagi Hari.
"Aku diskusikan dengan Fanny dulu. Semoga saja dia nggak keberatan. Kalau aku maunya sih langsung menikah aja. Sudah dulu ya, Ma. Mau mandi, keringetan nih." Hari memutuskan sambungan telepon dan berlari, melompati dua anak tangga sekaligus menuju kamarnya. Dia harus membersihkan diri secepatnya agar bisa menemui Fanny. Baru juga meninggalkan wanita itu beberapa menit yang lalu, rasa kangennya sudah tak tertahan.
Lima belas menit Hari sudah selesai membersihkan diri dan berganti pakaian santai. Wajahnya berseri-seri. Namanya juga akan bertemu sang kekasih tentu saja auranya berbeda. Hari tersenyum dan melangkah ke luar rumah menuju rumah sebelah—tempat sang pujaan hati. Jangan tanya degup jantungnya, sudah bertabuh sejak selesai mandi tadi. Dia yang biasanya tidak terpengaruh dengan apa pun, kali ini merasakan yang namanya deg-degan. Entah sudah berapa lama dia tidak merasakan sensasi seperti itu. Hari lupa. Tetapi yang dia tahu, berada di dekat Fanny, degup di dadanya kadang meronta.
"Belum mau makan siang, Mas?" Langkah kaki Hari terhenti mendengar suara Ijah. Badannya berbalik dan melihat meja makan di mana Ijah mulai menatanya.
"Nanti aja balik dari sebelah," ujar Hari lalu kembali melangkah. Biasanya setelah berolahraga dan mandi, Hari menyantap menu makan siang yang disiapkan Ijah. Tetapi untuk hari ini, lupakan sejenak makan siang. Perutnya juga tidak merasa lapar, padahal lumayan jauh rute olahraga sepedanya pagi tadi. Mungkin efek jadian dengan Fanny membuat isi perutnya seolah telah terisi penuh. Kenyang kasih sayang mungkin ya. Hari kembali tersenyum sembari melangkah cepat-cepat menjangkau teras rumah sang pujaan hati. Setelah menekan bel dan tak ada yang datang membukakan pintu, rasanya Hari ingin menerjang saja seperti saat tadi, ketika melihat mobil Tio berada di depan pagar. Setelah menekan bel yang kedua kalinya, barulah pintu dibuka.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Sound Of You (Terbit - Faza Citra Production)
RomanceKecelakaan yang dialami Fanny membuatnya harus menerima kenyataan jika dirinya kemungkinan akan lumpuh permanen. Dunia Fanny seolah runtuh. Selain kehilangan kedua orang tua, kekasihnya juga pergi meninggalkannya. Setahun Fanny menarik diri dari per...