Andin dan Al kini sudah duduk bersebelahan di sofa yang ada di kamar Andin dengan makanan yang sudah tersedia di meja depannya.
"Enak." Kata Al di sela-sela aktifitas mengunyahnya.
Andin tersenyum, Al selalu memujinya setiap kali memakan masakannya.
"Sebelumnya aku ga pernah tau kalau kamu bisa gombal dan jadi sosok yang hangat. Setiap masuk berita bisnis juga aku liat kamu kaku dan ga pernah senyum pas jawab pertanyaan dari wartawan."
"Iya, sampai akhirnya saya ketemu kamu dan kamu berhasil bikin saya jatuh cinta dengan kehangatan dan kelembutan kamu, terus membawa saya ke dalamnya."
Andin tersenyum lagi, Al melanjutkan ucapannya.
"Sebelumnya saya juga ga pernah tau kalau di balik sikap hangat dan lembut kamu ada semua ini, kehidupan seperti ini, kehidupan yang sangat berbahaya."
"Kalau kamu tau dari awal, apa kamu ga akan mau sama aku?"
"Kalau saya tau dari awal, saya akan minta izin papa kamu untuk bawa kamu pergi jauh dari sini sebelum kamu masuk ke dalamnya. Tapi kalian merahasiakannya, jadi saya baru tau waktu kamu bilang sama saya dan saat itu kamu udah pegang keputusan final, untuk jadi pemimpin mereka dan gantikan papa."
"Aku minta maaf kalau bikin kamu punya penyesalan karena harus masuk ke kehidupan aku sekarang."
"Ga ada penyesalan sama sekali, ketika saya tau semuanya saya malah memutuskan akan terus dampingi dan jaga kamu, sesulit apapun keadaan kamu."
Aldebaran dan Andin sudah menyelesaikan makan mereka sambil berbincang berat, mereka meletakan bekasnya di meja tadi, menunggu besok pagi bibi mengambilnya. Kini mereka berhadapan dan bersandar di sofa yang sedari tadi mereka duduki.
"Terima kasih ya, sayang. Tapi kamu juga jangan pernah lengah sama diri kamu dan perusahaan kamu, ingat kamu juga punya musuh yang bermain kotor."
"Iya, tidur. Besok saya masih harus ke kantor."
"Iya."
..
"Sayang, bangun yuk."
"Mas Al, udah pagi."Andin mengusap pipi Aldebaran untuk membangunkannya, pria yang ada di hadapannya itu tidak juga terusik, masih nyenyak sambil memeluk Andin.
"Hey, nanti terlambat ga enak sama karyawan kamu."
"Sayang, mas Al."Bagaimana Al akan bangun jika cara Andin membangunkan seperti itu, usapan di pipi dan suara lembut yang menenangkan, yang ada Al malah semakin masuk ke alam mimpi.
"Aldebaran, kamu bisa dengar aku?" Kali ini Andin sedikit menaikan nada bicaranya sambil memencet hidung kekasihnya, membuatnya sulit bernafas dan akhirnya langsung bangun terduduk.
"Huhh huhh Andin, kamu mau bunuh saya?" Al memasang ekspresi kesal sambil mengatur nafasnya yang sempat berhenti sebentar.
"Mungkin aja kalau kamu ga bangun-bangun." Andin berucap santai tapi dengan niat bercanda, mana mungkin ia membunuh cintanya, satu-satunya orang yang ia miliki saat ini.
"Udah sana cepet mandi, suhunya udah panas, kemarin pas kamu abis mandi pasti ga dimatiin kan heaternya."Al langsung bangun dan berjalan ke kamar mandi untuk mandi dan aktifitas lain yang diperlukan.
"Gimana bisa target client kita lepas? Kalian bisa kerja yang bener ga sih? Masa harus di briefing terus setiap hari untuk hal yang sama?"
Ketika keluar dari kamar mandi, Al disambut dengan Andin yang membelakanginya dan sedang marah-marah kepada orang di seberang telepon, Al yakin itu anak buahnya.