Part 19

3.1K 335 72
                                    

Andin menuju ke kamar Maria, ia melihat Maria sedang duduk dan membaca buku di kamarnya.

"Ma.." sapa Andin lembut kemudian duduk di sebelah Maria.

"Ella, kenapa?"

"Ella denger papa bilang ditelepon akan ada intel ke sini, untuk apa ma?" Tanya Andin pada Maria.

"Intel? Kamu ga salah denger?" Maria sedikit terkejut, apakah mereka semua sudah ketauan? Ini ketakutan terbesar Maria dari dulu.

"Iya, intel dan kepolisian akan berpencar ke gudang-gudang dan kesini. Kenapa ma? Apa terjadi sesuatu?" Andin ikut panik melihat ekspresi Maria.

"Ngga, tenang Ella. Ga akan terjadi apa-apa, papa pasti akan lindungi kita." Maria mulai merasakan pusing di kepalanya karena berpikir keras dan khawatir berlebih. Penyakitnya membuat Maria tidak diperbolehkan memikirkan hal-hal berat dan Andin sangat tau itu. Tapi kini Maria memaksakan diri untuk bangun dan bertemu Rama.

Ketika bangun dan mulai berjalan, Maria oleng sambil memegang kepalanya. Andin dengan sigap menahan Maria agar tidak terjatuh.

"Mama gapapa?" Tanya Andin khawatir.

"Ngga, mama gapapa. Mama perlu bicara sama papa." Maria kembali mencoba bangun tapi rasa sakit di kepalanya semakin menjadi sehingga ia kembali jatuh dan kali ini Andin ikut terjatuh karena tidak bisa menahannya.

"Ma? Mama?" Panggil Andin pada Maria yang melemah.
"Sebentar Ella ambilkan suntikan, tahan sebentar ya ma."

Andin langsung grasak-grusuk terburu-buru mengambil kotak obat Maria. Maria melihat Andin sangat perduli padanya, ia sangat terkesan. Andin membawa kotak obat ke hadapan Maria dan memberikan beberapa obat yang tanpa Maria sadari berbeda dari biasanya, kemudian Andin mulai menyuntik Maria.

Reaksi Maria setelah meminum obat dan menerima suntikan adalah berkurangnya rasa sakit di kepalanya. Tapi kali ini rasa sakit di kepalanya berkurang itu terjadi seiring dengan matinya seluruh saraf di tubuhnya, perlahan tapi pasti tubuh Maria semakin melemah sampai akhirnya matanya terpejam.

Andin menyeret Maria perlahan dan susah payah mengangkatnya ke tempat tidur, menyelimutinya dan membuat tubuhnya menghadap dinding, membelakangi pintu. Sebelum meninggalkan Maria di kamar itu, Andin lebih dulu membersihkan busa berwarna kehijauan yang keluar dari mulut Maria.

"Maaf, ma." Ucap Andin terakhir sebelum keluar kamar.

..

"Tuan, Aiden sudah menyebarkan foto nona Andin ke orang-orang dalamnya." Seru Rendy ketika mendapatkan laporan dari salah satu anak buahnya yang berhasil menyusup ke internal Aiden. Kini Al dan Rendy sedang berdiskusi apa yang akan mereka lakukan untuk memastikan Andin akan baik-baik saja.

"Sial! Katrin benar-benar mencari tau tentang Andin. Kalau sampai foto Andin disebar lebih luas dan dilihat anak buah Rama yang notabennya adalah relasi dari para anak buah Aiden, saya gatau lagi Ren." Al sedari tadi terus berpikir dengan keras bagaimana agar ia bisa membantu Andin sementara Andin tidak bisa dijangkau saat ini.

"Ren, kita berangkat ke rumah Rama sekarang." Tidak ada pilihan lain untuk memastikan Andin baik-baik saja. Al langsung bangun dari duduknya dan berjalan ke salah satu brangkas di ruang kerjanya untuk mengambil dua pistol, satu pistol untuk dirinya dan satu untuk Rendy.

"Baik, Tuan." Rendy menerima pistol itu dan mengikuti langkah Al.

Al dan Rendy berada di dalam satu mobil dan diikuti beberapa pengawal di belakangnya, mereka akan mengawasi Andin dari jarak sedekat mungkin yang mereka bisa capai.

..

"Pa, mau kopi?" Tanya Andin pada Rama yang sedang menyusun rencana dengan beberapa anak buahnya di ruang tamu. Andin berlaga tidak mengerti apa yang sedang mereka bicarakan dan menganggapnya hanya percakapan biasa.

MAFIA (Aldebaran & Andin)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang