Part 10

2.7K 298 12
                                    

Hari ini Maria pergi ke acara ulang tahun temannya, ia pergi ke sana sendirian, karena memang acara ibu-ibu. Jika mengajak Andin, ia takut Andin akan bosan di sana. Tapi Maria tidak benar-benar sendiri, pasti akan ada pengawal yang mengikutinya secara tersembunyi agar teman-temannya tidak mengetahui itu.

Andin yang berada di rumah sedang membantu pelayan untuk membersihkan rumah, ia membagi tugas dengan seseorang yang dipanggilnya bibi itu. Andin yang kebagian membersihkan lantai 3 merasa lelah dan membutuhkan minum, ketika hendak turun ke lantai 1, ia bertemu dengan Gerry yang baru saja naik ke lantai 2.

Gerry berjalan gontai, ia mabuk lagi, tapi masih sadar. Mengingat mamanya tidak di rumah dan di lantai 2 tidak terlihat ada orang, Gerry mendekati Andin, Andin yang coba menghindar berjalan ke arah ruang keluarga yang ada di sana.

"Mas.." Andin berusaha menghentikan Gerry, ia seperti tau apa yang ingin dilakukan oleh Gerry.

Gerry tidak berhenti, ia menarik Andin dan menjatuhkannya di sofa ruang keluarga dan mengurung Andin dengan tubuhnya.

"Mas.. mau apa?" Kata Andin sambil mendorong tubuh Gerry tapi Gerry sama sekali tidak terdorong, Andin tidak mengeluarkan semua kekuatannya karena khawatir dicurigai.

Gerry tidak berkata apapun, ia mulai mendekatkan wajahnya ke leher Andin tapi belum sampai bibirnya di leher Andin seseorang menegurnya.

"Gerry!" Tegas tuan Salim, seseorang kepercayaan Rama, ia ingin menemui Rama di ruang kerjanya dan harus melewati ruang keluarga.

Gerry mengangkat tubuhnya, menatap Salim sebentar dan langsung berjalan meninggalkan Andin.

"Terima kasih, tuan." Ucap Andin kepada Salim.

"Iya, Ella. Lebih hati-hati dengannya." Salim paham betul kelakuan Gerry karena ia sudah lama bekerja untuk Rama. Salim juga sudah mengenal Andin, selama seminggu lebih ini, setiap ia datang untuk menemui Rama dan berpapasan dengan Andin, Andin selalu menyapanya dengan hangat. Bahkan bisa dibilang Andin lebih dulu bisa menyentuh hati Salim daripada hati Rama.

Andin mengangguk dan tersenyum,
"Aku permisi."

..

Karena Maria tidak ada di rumah dan katanya mungkin akan pulang ketika jam makan malam, jadi tidak akan ada yang memanggilnya atau masuk ke kamarnya secara tiba-tiba. Setelah menyelesaikan pekerjaan rumahnya, Andin memutuskan untuk menelepon Aldebaran.

"Andin, kenapa kamu telepon saya siang-siang begini?" Lagi, yang pertama kali Andin dengar dari Al adalah sebuah kalimat dengan nada kekhawatiran dan ketakutan yang sangat jelas.

"Sayang, kamu tuh ga kangen apa sama aku? Kalimat pertama yang aku denger kok ga ada manis-manisnya sih?" Rengek Andin kepada kekasihnya.

"Bukannya gitu, Ndin. Saya cuma khawatir.." Al mencoba menjelaskan alasannya.

"Aku aman, Maria ga di rumah, aku juga udah bersih-bersih rumah ini, jadi ga akan ada yang cari aku."

"Yakin kamu aman?"

"Ngga, aku ga aman."

"Kenapa Andin? Kamu kenapa? Kamu butuh apa? Saya ke sana sekarang ya jemput kamu." Al panik bukan main mendengar kalimat pendek itu dari Andin.

"Hati aku ga aman, mas. Aku kangen banget sama kamu." Andin kembali bicara dengan suara manjanya.

"Astaga Andiinn.." Terdengar suara tarikan nafas panjang Aldebaran di telinga Andin.

"Haha maaf sayang."

"Suara kamu kok agak menggema sih, Ndin? Karena handphonenya murah ya?"

"Mas, ini aku di kamar mandi. Biar kalau ada yang lewat kamar ga denger suara aku."

"Astaga Andin, Andin."

"Demi kamu banget loh ini, mas. Kamu ga kangen emangnya sama aku?"

"Saya selalu kangen sama kamu, Ndin. Ga pernah saya ga mikirin kamu."

Andin tersenyum mendengarnya, ia bahkan kembali meneteskan air matanya.

"Semoga kita bisa secepatnya ketemu ya, mas."

"Jangan nangis terus, kamu bikin saya jadi makin kepikiran. Secepatnya ya, tapi kamu jangan terlalu buru-buru takutnya gegabah."

"Iya, mas. Aku akan lakukan semuanya di waktu yang tepat. Kamu gimana? Semuanya aman?"

"Aman, Ndin. Oh iya saya belum bilang sama kamu, yang dihubungi Aiden waktu itu benar Rama yang sama dan barang yang dia minta itu sabu."

"Bagus dong, di waktu yang tepat kamu bisa ledakin bom itu buat hancurin perusahaan dia."

"Bagus di poin itu, tapi poin lainnya kalau Aiden tau kamu sering sama saya dan dia liat kamu ada di sana, selesai kamu Ndin."

"Aku akan hati-hati, tapi selama ini aku belum pernah liat dia datang."

"Hati-hati sama anak buahnya juga, takut mereka ada yang merasa ga asing sama kamu."

"Iya, mas."

Duarr duarr
dorr dorr dorr

"Suara apa itu, Ndin?" Aldebaran sangat panik mendengar suara ledakan yang terjadi bebera kali.

"Aku gatau, aku tutup dulu teleponnya. Aku sayang kamu." Andin yang tidak kalah terkejut langsung mematikan teleponnya dan berlari keluar kamar.

Andin berdiri di dekat kaca lantai 3 yang mengarah langsung ke depan rumah. Ia melihat banyak orang sedang baku hantam, ada yang dengan tangan kosong, molotov, dan pistol.

Pasti musuhnya Rama, jika musuh berani menyerang ke rumah, berarti Rama yang lebih dulu berulah mencari masalah. Andin sudah biasa dengan hal seperti ini, ia sudah kembali normal setelah sebelumnya sempat terkejut. Ia cukup yakin bahwa pengawalan Rama tangguh, tidak akan dikalahkan oleh mereka. Ia kembali masuk ke kamarnya dan mengirimkan pesan pada Aldebaran.

"Aku baik-baik aja, itu keributan di luar. Kamu ga usah khawatir, mereka ga akan bisa masuk." Send.

Andin yang berpura-pura panik kemudian berlari mencari Rama di ruang kerjanya, Andin beberapa kali mengetuk pintu sebelum akhirnya dipersilahkan masuk. Andin melihat Rama sedang berdiri di belakang jendela ruangan kantornya yang menghadap ke depan rumah, memperhatikan keributan yang terjadi dengan kedua tangannya dimasukan ke saku celana.

"Ada apa di luar itu, pa?" Tanya Andin dengan paniknya.

"Biarkan saja, Ella. Kita akan aman, papa bayar mereka untuk menjaga rumah ini." Jawab Rama santai dengan suara beratnya. Rambutnya yang sudah memutih tidak menghentikannya berbuat keji.

"Bagaimana dengan mama, pa? Papa udah hubungi mama untuk ga pulang dulu?" Tanya Andin memperdulikan Maria.

"Astaga, aku lupa. Terima kasih, Ella."

Rama langsung merogoh handphone nya di saku celana dan langsung menghubungi Maria, memintanya untuk tidak pulang sebelum Rama kembali menghubunginya nanti.

"Di mana mama, pa?"

"Mama masih di rumah temannya, nanti setelah semua aman papa akan hubungi mama lagi."

Rama semakin yakin jika Andin memang perduli pada keluarganya.

"Ella permisi kalau begitu, pa."

"Iya, jangan keluar dari kamar dulu kalau tidak terlalu penting."

Andin mengangguk dan berlalu, tapi ia sempat melirik sebentar ke meja kerja Rama ketika melewatinya. Selembar foto berukuran A4 seorang wanita tergantung dengan kondisi mengenaskan dan penuh dengan darah. Andin tidak bisa melihat terlalu jelas siapa wanita itu, ia akan tanya pada Pram nanti, siapa lagi korban dari si keparat satu ini.











....
Jangan lupa tetep vote dan komentar kek biar semangat nih, ini ku udah lama ga ngetik cuma up-up yg ada di draft.

Ini ga akan aku bikin panjang, cerita tuh enakan ga panjang-panjang ya ga sih. Kepanjangan bingung kek cerita Married Life jadi ngalor ngidul awokwowkowk, terus aku lanjutin sequelnya 'Different' setelah ini tamat.

MAFIA (Aldebaran & Andin)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang