Sebulan sudah Andin berada di rumah Rama, semua berjalan sesuai rencana. Rama sepertinya sudah bisa menerima Andin di sana, tidak lagi bersikap kaku dan curiga pada Andin. Sementara Gerry, semakin menunjukan ketertarikannya pada Andin. Setiap malam, Andin tidak pernah lupa menghubungi Aldebaran, ia tau kekasihnya itu selalu menunggu kabarnya. Sementara seluruh urusan pekerjaan, sudah diserahkannya pada Pram. Setiap malam, Andin hanya akan menanyakan apakah ada masalah atau tidak.
"Ella.." panggil Rama terburu-buru pada Andin yang sedang berada di dapur.
"Iya, tuan?" Andin merasa khawatir dengan apa yang terjadi.
"Mama butuh suntikan, dia kambuh, kamu simpan di mana?"
"Oh!" Andin langsung berlari ke kamar Maria diikuti oleh Rama di belakangnya.
Sampai di kamar Andin melihat Maria sedang kesakitan memegang kepalanya. Andin mengambil suntikan dan obat-obatnya di laci lemari di kamar Maria dan langsung menyuntikannya dengan dosis sesuai, 15 detik berikutnya Maria mulai tenang dan rasa sakitnya perlahan hilang.
"Udah lebih baik, ma?" Tanya Andin pada Maria dengan lembut sambil mengusap tangannya.
"Iya, terima kasih Ella." Maria masih mengontrol nafasnya. Andin menjawabnya dengan senyum.
"Terima kasih, Ella." Kali ini Rama yang sedari tadi ada di ambang pintu mengkhawatirkan istrinya bersuara.
"Eh, iya tuan sama-sama." Andin menjawabnya dengan tersenyum.
"Kamu panggil Maria mama, harusnya kamu panggil aku papa."
"Papa?" Tanya Andin memasang wajah bahagia, kemudian ia melirik pada Maria yang memberinya senyuman dan anggukan.
"Iya Ella, papa minta maaf sudah sempat mencurigaimu."
Andin tersenyum,
"Gapapa, tuan. Aku sangat mengerti.""Hey, kamu keberatan memanggilku papa?"
Maria tersenyum melihatnya,
"Turuti saja Ella, jangan sampai nanti dia keburu tarik kata-katanya.""Maaf pa, aku cuma belum terbiasa." Andin menunduk takut.
"Haha sudahlah Ella, tidak apa. Aku kembali ke ruangan kerja ku dulu, Maria." Maria membalas dengan anggukan.
"Ma, sekarang tuan Rama sudah bisa menerima aku sepenuhnya di sini." Andin tersenyum sumringah, Maria ikut tersenyum dan memeluknya.
"Karena ketulusanmu sampai ke hati, Ella."
Andin memutuskan untuk kembali ke dapur, tadi ia sedang membuat kue untuk cemilan keluarga ini dan para penjaga. Turun dari tangga ia berpapasan dengan Gerry.
"Hey Ella." Gerry menghalangi langkah Andin.
"Mas di rumah?" Tanya Andin biasa, ia sama sekali tidak takut dengan Gerry.
"Iya, mas mau ambil yang ketinggalan di kamar."
"Oh, okay. Ella mau ke dapur dulu." Tapi Gerry tidak memberikannya jalan.
"Cium dulu." Gerry menyodorkan pipinya.
"Mas, apaan sih?"