3. Kehidupan di 2006

22 5 0
                                    

Desember 2006

"Ambar, setelah pelajaran ini selesai, tolong ikut saya ke kantor. Ada yang ingin saya sampaikan."

"Baik, Bu."

Beberapa menit sudah berlalu, bel istirahat juga susah berbunyi. Seiring kepergian Bu Marni dari kelas, Ambar mengikutinya dari belakang. Sesuai perintah, dia harus ikut ke kantor bersamanya.

"Lihat, tuh. Anak kampung udah sok cakep, caper ke guru pula. Dih, najis!"

"Iya, ih caper banget."

"Emangnya gak ada kerjaan lain, selain caper ke guru-guru? Biar apa coba?"

Kira-kira seperti itu yang berhasil Ambar dengar di sepanjang koridor sekolah menuju kantor. Dia berusaha menulikan pendengarannya, tapi mau bagaimana lagi. Dia tidak tuli. Tuhan memberinya dua telinga yang normal. Sebesar apa pun keinginannya untuk menolak keras mendengar ocehan teman-teman, tentu saja semua itu masih tetap terdengar.

Ngomong-ngomong, Ambar sudah mengganti warna seragamnya sekarang. Seragam yang dulu berwarna merah-putih, kini sudah berganti menjadi warna biru-putih. Dia juga sudah tumbuh menjadi remaja. Dia sudah bukan Ambar kecil lagi.

Tapi, kelakuannya masih sama seperti Ambar kecil yang dulu. Selalu ekspresif dalam segala hal.

Tidak terasa, langkah kakinya yang dipenuhi dengan goresan-goresan luka yang dia dapat dari mulut-mulut pedas temannya ternyata sudah sampai pada tujuan. Kini, Ambar sedang berdiri di depan pintu kantor.

"Ayo, Ambar!" Setelah membuka pintu tersebut, Ambar segera membuntuti Bu Marni.

"Jadi begini, Ambar." Mendengar Bu Marni yang mulai membuka obrolan, Ambar segera memasang kedua telinganya dengan benar. "Dari penilaian saya, juga guru-guru lainnya, kamu itu anak yang pintar. Kamu mudah memahami pelajaran, mudah mengerti, dan selalu serius dalam mengerjakan tugas yang diberikan guru-guru."

Sebuah senyum terlukis di bibir Ambar. Tentu saja dia senang mendapat pujian tersebut. Sembari menunggu Bu Marni merapikan buku-buku di mejanya, Ambar mengangguk-anggukkan kepalanya tanpa alasan.

"Kenapa kamu ngangguk-ngangguk gitu? Saya belum lanjutin ngomongnya." Sial, Bu Marni menyadari aktivitas konyol Ambar.

Dengan segera Ambar menggeleng dan mengatakan bahwa tidak ada apa-apa. Dia hanya merasa bosan menunggu Bu Marni untuk melanjutkan obrolan.

Ambar memang anak yang jujur. Dia bosan, dan dia mengakuinya.

"Baik, biar kamu gak bosan, saya lanjutkan." Bu Marni sempat tertawa kecil tadi ketika mendengar pengakuan Ambar. Dia berbeda dengan siswa-siswi lainnya. "Sebentar lagi ada lomba olimpiade Sains Nasional tingkat SMP. Kemarin, guru-guru sudah berunding untuk mengikutsertakan kamu sebagai peserta lomba tersebut untuk mewakili sekolah."

Ambar melebarkan mata sekaligus mulutnya. Dia benar-benar tidak percaya bahwa dia akan ikut olimpiade. Seumur hidup, dia tidak pernah mengikutinya. Bahkan, dia tidak tahu apa saja yang harus dia lakukan di olimpiade itu nantinya. Setahu dia, lomba olimpiade itu seperti menjawab soal-soal yang diberikan juri, lalu yang menjawab dengan cepat dan tepat akan menang. Begitu.

"Tapi, semua kembali ke diri kamu sendiri. Apa kamu bersedia?" Bu Marni memberi jeda, menatap Ambar dengan wajah penuh harapan. "Karena kalau kamu tidak bersedia, kami tidak akan memaksa. Karena kalau kamu mengikuti lomba ini secara terpaksa, itu tidak akan menghasilkan pencapaian yang maksimal."

"Kalau boleh tahu lombanya kapan ya, Bu?" Ambar berharap olimpiade ini masih lama, karena dia harus mempersiapkan diri.

"Kira-kira dua bulan lagi," jawab Bu Marni setelah melihat kalender kecil di atas mejanya.

Butterfly Angel (Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang