11. Pengakuan

12 5 0
                                    

"Ambar, Davin?" Suara seseorang dari arah belakang Davin membuat keduanya terkejut. Benar-benar terkejut hingga rasanya bola mata mereka hampir copot.

K-kenapa ada dia di sini?

Menghela napas pasrah, keduanya hanya diam. Tidak merespon seseorang yang kini cepat-cepat menghampiri mereka. Wajahnya sangat terkejut juga. Ya, ketiganya saling terkejut.

"Nak, kalian kenapa kotor begini?"

Mampus!

"Bu Tias ...." Harus menjawab apa Ambar kalau sudah begini. Mau berbohong apa lagi jika Bu Tias sudah ada di depan mata dan melihat kondisinya yang sekarang.

Seseorang tolong Ambar dan Davin!

"Ambar, jelasin ini kenapa kalian kotor begini? Kenapa?" Wajah wanita itu benar-benar khawatir. Tentu saja khawatir. Mereka sudah seperti pisang yang dibalut tepung dan siap untuk dimasak.

Sekarang Davin yang menghadapinya. "Nggak, gak ada apa-apa. Kita hanya bermain tadi, teman kita ada yang ulang tahun."

"I-iya, tadi ada teman kita yang ulang tahun, Bu. Jadi teman-teman semuanya merayakan, kita juga ikutan." Davin yang pintar ... Ambar merasa sedikit lega karena Davin mendapat alasan yang lumayan logis.

Namun, alasan itu sama sekali tidak membuat Bu Tias percaya. Tidak mungkin juga merayakan ulang tahun sebelum jam pelajaran berlangsung? Bisa-bisa saat masuk kelas nanti seragam mereka kotor. Ah, ternyata alasan itu tidak logis.

"Jangan bohong. Sudah, ibu tahu kalian ini alasan. Ayo ngaku, kalian habis kenapa? Jujur sama ibu, Nak."

Ambar dan Davin saling melempar tatapan. Mereka bingung, sepertinya sudah tidak ada alasan lagi. Hanya bisa diam sampai Bu Tias terus mengulang pertanyaan itu.

"Ambar, jelasin kalian kenapa, Nak?"

"Sudahlah, ayo jujur aja." Davin pasrah. Melihat bahasa isyarat Davin, Ambar menutup matanya ftustasi.

"Jadi, sebenarnya ... kita dijahili, Bu," lirih Ambar. Air matanya yang dia tahan-tahan ternyata jatuh lagi. Bahkan kali ini lebih deras. "Selama ini kita dirundung di sini, Bu Tias ... aku dan Davin .... ya, kita dirundung, Bu ...."

Bu Tias tertohok dengan pengakuan Ambar di sela-sela tangis itu. Dia benar-benar tidak percaya. Dia sangat tidak menyangka, ternyata selama ini Ambar dan Davin dirundung di sekolah ini? Sejak kapan? Bagaimana bisa mereka menerima semua itu?

Dadanya terasa sangat sesak. Kini dia menyusul tangis Ambar. Lututnya ditekuk, mendongak untuk melihat wajah yang selama ini merahasiakan perundungan yang menimpa mereka. "Sejak kapan?"

"Maafin aku, Bu Tias ... ini semua salah aku. Benar-benar salahku ... kalau saja aku nggak ngajak Davin buat sekolah di sini, Davin gak akan merasakan ini---"

"Nak, ibu tanya sejak kapan," sela Bu Tias. Dia tidak marah, dia hanya sangat merasa kecewa dan sedih.

Ambar menunduk, mengusap pipinya yang basah. Terkena air mata dan cairan tepung itu. "Sejak aku masuk sekolah ini. Sejak awal. Bahkan, sejak SD."

Bu Tias spontan memeluk gadis itu. Terisak dengan dada yang sangat sesak. "Kenapa kamu gak bilang, Ambar ... kenapa kamu gak pernah cerita?"

Butterfly Angel (Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang