14. Ambar Jangan Lupa Lagi

8 5 0
                                    

Setibanya di rumah Anna, keduanya dibuat membuka mulut lebar. Terutama Ambar. Menurutnya, rumah Davin sudah besar, tapi rumah Anna ternyata jauh lebih besar. Seperti ... rumah di film-film.

Halaman rumahnya saja sudah sangat luas, kemudian di samping ada kolam renang berukuran sedang, dan rumahnya jangan ditanya lagi. Seperti istana, hanya saja tidak menjulang tinggi. Hanya lantai dua.

"Ambar!" Suara Kinan membuat Ambar dan Davin terkejut. Baru saja mereka menginjakkan kaki memasuki halaman, gadis itu sudah berlari dengan penuh semangat.

Hingga sudah berjarak dekat, napasnya terdengar ngos-ngosan. Ambar terkekeh melihat gadis lucu itu. "Ayo cepetan, kita udah nungguin!" Dengan segera dia menarik tangan Ambar dan berlari menuju rumah besar itu. Tidak peduli dengan rasa lelahnya.

Davin hanya tertawa kecil tanpa suara kemudian mengikuti jejak Ambar dan Kinan. Ngomong-ngomong Davin malam ini terlihat cukup keren. Padahal, hanya memakai kaos polos berwarna putih, celana panjang hitam, dan jaket hitam.

Ternyata di dalam sana jauh lebih indah rumah Anna ini. Ruang tamunya sangat terang dan mewah. Dan ternyata, tidak hanya ada Nina dan Anna saja. Raffa juga ada di sana, dia tidak kalah keren dari Davin. Memang pada dasarnya Raffa lebih keren dari Davin, sih.

"Hai!" Melihat kehadiran Davin, Raffa melambaikan tangan, kemudian bersalaman kecil. Dia juga menggeser duduknya supaya Davin duduk disampingnya.

Seperti sudah kenal akrab saja. Padahal, Davin dan Raffa belum saling kenal sama sekali. Sungguh, baru kali ini mereka bersama seperti ini.

"Eh, kita belum kenal, ya?" Raffa tersadar. Benar kan, mereka belum kenal satu sama lain. "Kenalin, aku Raffa. Pacarnya Anna."

Davin tersebut lebar. Membalas jabatan tangan Raffa dengan senang. Kemudian dia menulis di kertas yang selalu dia bawa ke manapun dia pergi. 'Aku Davin'.

Raffa tersenyum hambar sambil mengerutkan keningnya. Dia masih tidak paham mengapa Davin membalas percakapannya dengan menulis di kertas. Apa dia---

"Em ... Raf, dia ... bisu," sahut Anna dengan suara pelan.

"Oh, jadi dia yang pernah kamu ceritain ke aku?" Sepasang kekasih itu akhirnya berbisik-bisik pelan dengan wajah yang sebisa mungkin menjauh dari Davin.

Apa? Yang pernah diceritakan? Cerita apa? Wah ... Davin ternyata secara diam-diam Davin pernah masuk ke dalam topik pembicaraan Anna dan Raffa.

Meski bisik-bisik, Davin punya telinga yang normal. Dia bisa mendengar percakapan mereka meski hanya sedikit-sedikit. Raut wajah laki-laki bisu itu surut akan senyuman secara perlahan.

Tidak apa-apa, Davin. Ini sudah biasa. Kamu memang bisu, jadi tidak perlu tersinggung.

Davin pasrah jika mungkin kehadirannya di sini hanya dijadikan sebagai bahan bisik-bisik. Semoga saja Ambar bersenang-senang. Dia mencoba untuk kembali tersenyum meski dalam hatinya merasa cukup perih.

Iya-iya, ini memang sudah hal biasa bagi Davin. Tapi, sudah terbiasa bukan berarti sudah mati rasa. Davin tentu saja juga merasa sedih jika begini.

Namun, tiba-tiba sebuah rangkulan menyimpang di punggung Davin. Laki-laki itu sedikit terkejut, spontan dia menoleh ke arah pemilik tangan yang merangkulnya.

"Mulai sekarang, kita berteman. Mau?" Mata Davin berbinar mendengar itu. Apakah dia berkata benar? Ini bukan penipuan atau ada udang dibalik batu, kan?

'Beneran?' Membaca tulisan Davin, Raffa terkekeh. "Terus kami pikir aku bohong?"

Davin segera menggeleng. Mengulum bibir sambil menatap atap rumah Anna yang sebenarnya masih ada saru lantai di atasnya. Kemudian dia menulis lagi. 'Kamu benar-benar mau jadi teman aku? Kita berteman, kan? Kamu gak ada niat buruk?'

Butterfly Angel (Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang