24.Vonis

11 2 0
                                    

Suara Bu Rani yang memanggil-manggil nama Ambar, menyuruhnya untuk bangun, membuat Davin tertarik untuk ikut masuk ke kamar tersebut. Tidak mungkin kan Ambar tidur sepulas itu, sampai-sampai dibangunkan berkali-kali tidak bisa.

"Davin, ini tolong Ambar kayaknya pingsan, Nak," ucap Bu Rani dengan nada cemas saat Davin mendekat.

Melihat wajah Ambar yang pucat itu, Davin ikut cemas. Segera dia membantu Bu Rani untuk membangunkan Ambar. Dia juga mencari-cari minyak angin yang aromanya menyengat. Berharap, dengan menghirupkan minyak tersebut pada Ambar, dia bisa sadar.

"Nak, bangun! Ambar ...." Suara Bu Rani yang terus-menerus terdengar cukup keras tidak berhasil membangunkan putrinya.

"Ya ampun, ini Ambar kenapa?" Bu Tias yang baru saja datang dibuat terkejut dengan aktivitas mereka. Setelah menyadari situasinya, Bu Tias menyarankan untuk segera membawa Ambar ke rumah sakit saja.

Tanpa basa-basi, Davin langsung mengangkat tubuh Ambar. Membopongnya hingga ke dalam mobil. Di tengah itu, Davin menatap wajah pucat Ambar. Dengan penuh harapan, dia terus berdoa kepada Tuhan supaya tidak akan ada hal buruk yang terjadi pads Ambar.

"Ambar, kamu bertahan ya. Aku gak mau kehilangan kamu, kamu harus bertahan!"

¶¶¶

Davin berjalan cepat beriringan dengan roda brankar yang didorong oleh beberapa perawat. Ambar terbaring lemah di sana. Bu Rani tidak berhenti meneteskan air mata sebab terlalu khawatir dengan keadaan Ambar. Pasalnya, akhir-akhir ini Ambar sering merasa jantungnya semakin sakit.

Hingga sampai pada ruang IGD, perawat menghentikan mereka. Davin menunggu di luar ruangan, tubuhnya tersandar di tembok dengan kaki yang terasa lemas. Dia ingat, semalam Ambar tidak sempat meminum obat.

Ah, sudah berkali-kali Davin ingatkan, jangan sampai lupa minum obat. Sekalipun Ambar lupa, beginilah akibatnya.

Setelah beberapa jam menunggu dengan suasana yang hening, akhirnya dokter keluar dari ruang yang sejak tadi ditunggu-tunggu pintunya terbuka. Bu Rani segera berdiri dan menghampiri dokter tersebut dengan panik. "Dokter, bagaimana keadaan anak saya? Dia baik-baik saja, kan?"

"Dia sekarang baik-baik saja. Anak ibu sudah sadar, hanya butuh istirahat." Mendengar itu, Bu Rani menghela napas lega. Begitu juga dengan Davin yang diam-diam mendengar percakapan mereka. "Ada yang perlu saya bicarakan dengan Ibu, mari ikut saya."

Bu Rani digiring ke ruang konsultasi. Sementara Davin diam-diam mengikuti mereka. Perasaannya tidak enak, rasa penasaran juga sangat meningkat. Tidak mungkin jika dia diam saja. Apalagi ini menyangkut Ambar. Separuh dari hidupnya.

Silakan bilang Davin lebay, tapi memang kenyataannya Ambar sangat berarti dalam hidup Davin.

"Jadi, Ambar tidak akan bertahan lama lagi, Dok?"

"Iya, Bu jantung Ambar itu sudah sangat parah. Menurut hitungan medis, mungkin hidup Ambar  hanya tersisa beberapa bulan. Tapi semuanya juga kembali ke takdir Tuhan, kami sebagai dokter hanya bisa memberikan yang terbaik sebagai perantara.

"Jadi, untuk saat ini lebih baik Ambar sering-sering mendapat kebahagiaan. Sebisa mungkin jangan buat dia sedih, jangan melarang Ambar untuk melakukan hal yang membuatnya bahagia. Jika dia ingin ini-itu, turuti saja kemauannya, Bu. Supaya saat Ambar jika pergi nanti, dia sudah memiliki bekal kebahagiaan."

Davin melebarkan mata tidak percaya mendengar percakapan mereka. Tubuhnya yang semula bersandar di balik pintu untuk menguping, kini merosot lemas. Benarkah yang diucapkan dokter tadi? Apa Davin salah dengar?

Butterfly Angel (Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang