6. Sekolah Baru Davin

10 4 0
                                    

"Jangan, Nak. Kamu itu memang harus sekolah di sana." Davin sedikit kecewa mendengar jawaban ibunya ketika dia meminta untuk pindah sekolah. Dia ingin bersekolah dengan Ambar, pun dengan Ambar yang juga menginginkan itu.

"Tapi kenapa, Bu Tias? Menurutku, Davin itu sama kayak anak-anak yang normal. Davin bukan anak ABK," sela Ambar yang sedikit tidak terima. Dia sangat berambisi untuk mengeluarkan Davin dari sekolah anak berkebutuhan khusus itu.

Davin hanya tidak bisa berbicara. Apa dia anak berkebutuhan khusus?

Menurut Ambar itu tidak!

Davin tidak idiot, kok. Davin bisa berpikir jernih dan pikirannya sama dengan anak-anak seperti Ambar.

"Ambar ...." Terlihat jelas bahwa Bu Tias tidak bisa menjelaskan apa-apa lagi. Dia sedih melihat Ambar dan Davin berusaha membujuknya untuk memindahkan sekolah Davin.

Bukannya apa, Bu Tias takut di sekolah umum nantinya Davin tidak mendapatkan teman baik. Apalagi sekarang banyak sekali perundungan di kalangan anak sekolah. Dia tidak ingin Davin dirundung karena bisu, karena dia berbeda dari teman-temannya.

"Nak, ibu gak mau kamu---" Ucapan Bu Tias terpotong saat Davin berlutut di hadapannya. Seiring dengan aktivitas Davin, air matanya mengalir deras.

Begitu juga dengan Davin yang matanya memerah dan berair. Tidak berair lagi, air matanya sudah membasahi kaki Bu Tias. Sesekali dia menyentuh, mengelus, bahkan menciumi punggung kaki ibunya yang mematung dalam keadaan duduk di atas kursi.

"Davin, jangan gini, Nak ...." Mengusap air matanya, kemudian dia meminta putra satu-satunya untuk segera mengangkat kepalanya. Dia tidak kuasa melihat Davin yang kini bersujud, bahkan menciumi kaki ibunya.

Davin mengangkat kepalanya, menatap sang ibu dengan lemah dan penuh harap. Tangannya mengisyaratkan permohonan yang begitu besar.

"Bu, ijinkan aku sekolah di sekolah umum bersama Ambar. Aku janji, aku akan berusaha menjadi yang terbaik. Aku yakin, di sana aku akan mendapat teman-teman yang normal. Aku yakin, mereka juga akan baik kepadaku. Aku mohon, Bu ijinkan aku sekolah di sana."

Itu yang akan dia katakan jika dia bisa bersuara. Sayangnya, dia hanya bisa mengungkapkan semua itu lewat tatapan matanya yang penuh arti.

"Ambar janji kok, bakal bareng-bareng terus sama Davin, Bu Tias. Davin bakal baik-baik saja di sekolah itu," tambah Ambar sambil duduk di dekat Davin. Di atas lantai yang dingin. "Davin nggak pantas berada di sekolah lamanya. Davin itu anak yang normal. Davin bukan anak autis atau anak berkebutuhan khusus."

Tentu saja Bu Tias diambang kebingungan. Dia tidak lagi harus bagaimana. Dia bingung, haruskah dia mengikuti keinginan putranya dan Ambar. Apakah Davin benar-benar akan baik-baik saja di sana nanti.

¶¶¶

"Davin, kamu udah siap belum? Ayo cepetan, nanti telat!" Ambar sejak tadi heboh sendiri di dalam rumah. Berlari ke sana ke mari mengecek Davin yang sedang bersiap-siap. Dia bahkan sudah sangat siap, seragamnya susah rapi.

Tidak lama setelah dia memanggil Davin dari luar kamarnya, sang pemilik kamar akhirnya keluar juga. Memakai seragam yang sama dengan Ambar. Senyum bahagia terlukis di bibir keduanya.

"Aaa ... Davin!" spontan Ambar memeluk Davin karena saking senangnya. Begitupun dengan Davin yang tidak kalah senang. Kemudian mereka meloncat-loncat kecil dengan penuh kegembiraan.

"Ekhm, katanya disuruh cepetan, nanti telat ...." Suara Bu Rani menghentikan aktivitas keduanya. Kemudian Ambar dam Davin melepas pelukan, berjalan bergandengan keluar rumah.

Butterfly Angel (Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang