33. Kepulangan Davin

10 1 0
                                    

Halo Ambar, sahabat terbaikku. Ini aku Davin!

Kali ini aku gak akan tanya bagaimana kabarmu. Karena aku tahu, saat kamu baca surat ini pasti kabarmu sangat baik. Hei, kamu sudah sehat kan? Wah, gimana rasanya, pasti senang ya? Aku senang kalau kamu senang.

Oh iya, selamat ulang tahun!
Maaf ya aku belum ngucapin ini ke kamu. Aku nggak terlambat kan?

Ngomong-ngomong, kamu masih ingat bahwa aku pernah cerita tentang ayahku ke kamu, kan? Kamu tahu kan ayah aku kesepian di surga, dia gak punya teman. Nah, aku mau kita bagi tugas, nih. Kamu bertugas menjaga ibuku di dunia, aku bertugas menjaga ayah di surga.

Hei, aku gak pergi kok. Aku cuma mau menemani ayah. Kamu jangan nangis, ya. Maafin aku kalau tugas yang aku berikan ini sangat merepotkan, maafin aku, aku sangat minta maaf.

Ambar. Kamu itu satu-satunya sahabat aku di dunia. Cuma kamu yang mau berteman denganku. Aku sangat-sangat bersyukur bisa bertemu dengan kamu. Kamu itu sahabatku yang cantik dan sangat baik.

Terima kasih banyak karena kamu sudah kasih tahu aku tentang banyak hal di dunia. Ternyata dunia itu luas, aku saja yang terlalu menyempitkannya. Karena kamu, aku bisa mewujudkan impianku untuk sekolah di sekolah umum. Aku bisa jalan-jalan, bisa berbagi cerita sama kamu, bisa main kupu-kupu bareng kamu, dan aku bisa melukis wajah kamu.

Jangan sedih karena setelah ini aku gak ada di sampingmu. Itu bukan berarti aku meninggalkan kamu untuk selamanya. Justru kita semakin dekat, karena mulai saat ini, aku ada di dalam ragamu. Karena jantung yang ada di dalam tubuhmu adalah jantungku. Oh iya, aku juga akan bercerita ke ayah bahwa aku pernah punya sahabat sebaik kamu di dunia. Aku gak akan pernah melupakan kamu, Ambar. Meski kita sudah menginjak di alam yang berbeda, kamu tetap sahabatku. Sahabat terbaikku. Selamanya.

Ambar, sekarang kamu sudah sehat. Impian terbesarmu sudah terwujud. Sekarang saatnya kamu mengejar impian-impianmu yang lainnya. Kamu harus semangat kamu harus punya masa depan yang cerah. Kamu harus bisa buat bangga ibu.

Sekali lagi terima kasih. Kalau kamu rindu aku, lihat saja kupu-kupu di tempat kita berbagi cerita biasanya. Di situ kamu bisa mengenangku. Sampai jumpa di alamku, Ambar. Aku sangat menyayangimu, sangat-sangat menyayangimu lebih dari semua yang aku punya di dunia itu kemarin.

Salam,
Davin Pramudya.

Air mata Ambar bercucuran membaca surat yang tadi diberikan oleh Bu Rani. Katanya, surat itu adalah titipan Davin khusus untuknya.

Davin ... benarkah dia sudah pergi? Sungguh?

Tidak, ini semua pasti mimpi. Ini pasti mimpi. Ambar tidak akan membiarkan Davin pergi!

"Enggak, Bu. Ini pasti cuma lelucon, kan? Aku tahu Davin itu suka jahil, dia pasti cuma becanda." Ambar menatap ibunya dengan histeris. Dia mengibas-kibaskan surat dari Davin itu tidak terima. Dia tidak terima dijahili oleh Davin.

"Bener-bener anak ini!" Ambar segera beranjak dari ranjang. Memilih membawa infus yang masih tersalurkan ke tubuhnya itu untuk ikut bersamanya. "Di mana dia sekarang, Bu? Aku mau kasih pelajaran ke dia. Masa aku udah sembuh gini bukannya dikasih selamat malah dijahili gini!"

Bu Rani tertunduk lemah. Dia menenggelamkan wajahnya di ranjang kasur yang tadi ditiduri Ambar. Melihat reaksi ibunya, Ambar menghentikan langkah yang ingin berlari tidak tahu arah itu. Reaksi Bu Rani membuat keyakinan Ambar bahwa Davin sedang bercanda menjadi runtuh.

Wajahnya yang semula ingin mengomeli Davin, berubah menjadi cemas. "Bu di mana Davin?" Ambar meninggikan nada bicaranya, dia benar-benar butuh jawaban yang jelas. Dia ingin jawaban bahwa Davin sedang bercanda. Semua ini hanya bercanda.

"BU, DAVIN DI MANA?!" Sekali lagi, Ambar kini mendekat pada ibunya yang tidak berani mengangkat wajahnya. Air matanya kembali menetes deras saat sikap Bu Rani menunjukkan jelas bahwa apa yang dikatakan Davin dalam surat itu bukan sebuah candaan.

Tidak mau hanya berlama-lama berperang dengan pikiran-pikiran buruk, Ambar segera pergi keluar dari ruangannya. Dia berjalan menelusuri lorong rumah sakit, meskipun tubuhnya masih terasa lemas tidak membuatnya berhenti mencari Davin.

Dia memutuskan untuk pergi ke kamar mayat. Untuk memastikan bahwa Davin tidak ada di dalam sana. Dia yakin, Davin pasti sekarang sedang berada di rumah atau membeli makanan untuknya.

Ambar berdiri di hadapan brankar yang terdapat nama sahabatnya. Langkah kaki itu spontan terhenti dengan kedua bola mata yang tertutup sejenak. Ambar mengambil napas dalam-dalam dan mengembuskannya.

"Tenang, Ambar. Nama Davin Pramudya itu gak cuma satu di dunia ini. Dia pasti bukan Davin sahabat kamu!" Sebisa mungkin Ambar terus berpikir positif. Dia tetap terus berusaha meyakinkan diri sendiri bahwa Davin hanya bercanda dengan semua ini. Davin itu masih hidup!

Tangannya memegang kain putih yang menutupi wajah jenazah yang bernama Davin Pramudya itu. Mengembuskan napas panjang, Ambar memberanikan diri untuk membuka kain tersebut. Dia akan memastikan bahwa dia bukan Davin sahabatnya.

Tubuh Ambar gemetar hebat. Kakinya melangkah mundur tak tahu arah. Mata yang sejak tadi sudah basah kini semakin banjir. Masih tidak percaya, sungguh tidak percaya.

Lidahnya kelu, tidak dapay berkata apa-apa. Dia hanya diam mematung di samping brankar tersebut dengan mata yang tidak berkedip. Kemudian kepala menggeleng-geleng tidak menyangka.

"Enggak, ini pasti cuma mimpi." Gadis itu memberanikan diri untuk melangkah lebih dekat, menatap wajah pucat jenazah tersebut.

Dengan tangan yang masih bergetar hebat, Ambar berusaha meraih wajah laki-laki itu. Dia menangkup kedua pipi Davin, dia berhasil menyentuh wajah yang terasa dingin itu. Tubuh Ambar ambruk lemah di atas dada Davin. Dia terisak tidak karuan di sana, menenggelamkan wajahnya di antara leher dan bahu Davin.

Ambar memeluk tubuh Davin, memeluknya erat. Dia menangis sejadi-jadinya di sana. Tidak dapat dipungkiri, Davin ternyata merelakan nyawanya hanya untuk menyelamatkan Ambar. Tidak terima, sungguh Ambar tidak terima. Sekalipun Ambar berkeinginan besar untuk sehat, dia sama sekali tidak ingin jika Davin yang harus mengorbankan jantungnya.

Jika boleh memilih, Ambar lebih memilih dia terus hidup dengan penyakit yang dia idap. Ambar akan lebih baik jika Davin tetap hidup meskipun Ambar sakit-sakitan.

"Davin kamu jahat!" Ambar memegang kedua pundak Davin, menggoyang-goyangkannya dengan air mata yang terus menetes di dada Davin. "Bukan ini yang aku mau, Dav ...."

"Ayo kita tukar tempat. Ini salah, Dav ... ini salah banget. Harusnya aku yang tidur di sana, bukan kamu!" Dia menatap mata Davin yang tertutup rapat.

"DAVIN BANGUN! KAMU GAK BOLEH PERGI, AKU GAK RELA." Ambar sudah terlihat seperti orang gila. Dia tidak tahu harus bagaimana lagi untuk membuat Davin membuka mata. "Dav ... ayo bangun, ayo lukis wajah aku lagi ...."

Tubuhnya tersungkur lemah di atas lantai dingin ruangan tersebut. Rasanya seperti tidak ada yang bisa dia lakukan lagi selain mengikhlaskan Davin. Lagipula, Davin sudah rela mengorbankan nyawanya untuk membuat Ambar tetap hidup. Davin pasti sedih jika Ambar tidak menerima kenyataan ini dengan baik.

Percuma saja dia bersikap seperti orang gila seperti ini. Dia tidak akan bisa membuat Davin kembali hidup. Akhirnya dia pasrah, dia menyerah, dia tidak akan memarahi Davin lagi setelah ini.

Tangannya mengelus rambut Davin dengan lembut. Menatap wajah laki-laki itu yang terlihat tampan. Dengan suara yang terdengar parau, Ambar berbisik tepat di telinga kanan Davin.  "Dav ... terima kasih banyak, ya. Aku gak akan pernah lupain kamu, sampai kapanpun. Aku sayang kamu, Malaikat ku."

-TBC-

Gimana, penasaran kelanjutannya, kan?🤔
Tunggu update selanjutnya, ya!

Jangan lupa vote dan komen 🥺♥️

Next⬇️

29 Juli 2021

Butterfly Angel (Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang