26 : Kantin

37.3K 2.4K 117
                                    

Aku ingin menyapamu, tapi luka ini mengingatkan perilakumu. —Cillanera

•••

Valcano menghela nafas ketika jam istirahat mulai, dia memilih untuk dikelas dari pada ke kantin. Messa asik berceloteh di sampingnya, pikiran lelaki itu mengarah ke Cilla.

“Val, lo dengerin gue nggak?” tanya Messa sambil mengguncang bahu Valcano pelan.

Valcano tersadar dari lamunannya. “Hah? Apa, Mes? Sorry,  gue nggak fokus.”

“Ck!”

Messa benar-benar sebal dengan Valcano, namun karena tersihir dengan wajah lelaki itu, perasaan sebal tadi hilang. Asal Valcano selangkah lagi bisa dia dapat, itu tak apa. Setidaknya dia dapat memisahkan Valcano dengan Cilla.

“Val, gue nanti pulang bareng lo ya?”

Valcano melirik sekilas Messa. “Iya,” jawabnya singkat yang mampu membuat jantung Messa berdebar dengan kencang. Lelaki itu kembali menghela nafas pelan, bisa habis nanti jika sampai dia menolak ajakan Messa.

Semua ini terasa sulit bagi Valcano, dia tidak suka jika dia di atur oleh orang lain, apalagi menghadapi tekanan dari Adit.

Valcano mulai merindukan Cilla, gadis yang menyimpan luka batin dan menyiksa dirinya sendiri. Dia sadar, setiap kelakuannya kepada Cilla itu begitu jahat dan mungkin tak bisa dimaafkan, pantas jika Cilla tidak mau menemuinya lagi.

Di sampingnya, Messa masih berceloteh. Menceritakan ini dan itu yang tak di gubris sama sekali oleh Valcano. Lelaki itu sibuk dengan pikirannya.

Satu yang ada di pikiran Valcano; cara agar bebas dari tekanan Adit dan kembali dengan Cilla.

•••

Valcano memilih untuk pulang ke apartemen, dia menarik nafas pelan. Lalu setelahnya, dia memberi makan untuk Vodka, peliharaannya.

“Vodka, gue kangen Cilla,” monolog Valcano.

Valcano menunduk, perasaannya tak karuan karena rindu dengan Cilla. Lelaki itu frustasi karena perasaannya ini, memori saat dia sering menyakiti Cilla dulu berputar di otaknya.

“Maafin gue, Cilla!” Raungnya frustasi. “Gue bener-bener sayang sama lo!”

Pintu apartemennya terbuka dan terlihat tubuh Marwah yang ada disana. Wanita itu kemudian masuk tak lupa juga dia menutup pintu kamarnya. Dia melihat raut putra semata wayangnya sedang terduduk sambil memegangi kepalanya.

“Valcano.”

“Bunda?” Beo Valcano ketika melihat Marwah.

Marwah mendekati putranya, membelai rambut Valcano yang berantakan. Dia tahu, jika Valcano hancur. Pasalnya, dia tidak pernah melihat Valcano seperti ini.

“Bunda, Val salah banget ya ke Cilla? Awalnya, Val juga sayang sama Messa sebagai sahabat, Val juga sayang sama Cilla.”

“Bun, gimana caranya kita bisa lepas dari tekanan Om Adit? Val ngerasa kalau Messa semakin semana-mena sama Val.”

Marwah menarik nafas pelan. “Papa lagi coba cara buat lepas dari Om Adit, Nak.”

ValcanoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang