Baca bab sebelumnya ya, karena aku tahu kalau kalian lupa alurnya haha.
Gimana tabungan kalian untuk peluk Val nanti? Aman?
•••
Semuanya sedang berada di rumah sakit. Cilla mendekati Valcano yang duduk disamping Avines. Giano dalam pengejaran polisi, hampir dua jam lamanya ketiga remaja itu dimintai keterangan oleh polisi.
Johan datang dan langsung merengkuh tubuh putrinya. Avines berdiri, begitu juga dengan Valcano.
Mata Johan menatap nyalang Valcano sebelum akhirnya dia memandang ke arah Avines. "Gimana, Vin?"
"Kita masih nggak tahu keluarga mana yang bisa dihubungi, An sendiri juga masih jalanin operasi di dalam," terang Avines.
Johan mengambil kunci mobilnya. "Antar Cilla pulang, pakai mobil Om."
Avines mengangguk patuh sambil mengambil kunci yang ada ditangan pria itu. Cilla tampak enggan untuk pulang, dia masih ingin disini, ingin tahu bagaimana kondisi An nantinya.
"La, pulang ya? Dengerin apa kata papamu." Valcano memegang pundak Cilla dengan senyuman. "Nanti kalau ada kabar, aku bakal kasih tau kok."
Cilla menatap Johan sekilas lalu kembali memandang kekasihnya. "Oke.. Jangan lupa kabarin aku kalau ada sesuatu sama An."
Valcano mengangguk lalu mendorong pelan pundak Cilla, bermaksud untuk menyuruh gadis itu pergi bersama Avines yang sedari tadi menunggu mereka.
Sepergian keduanya, Johan mendekati Valcano yang tampak gelisah. Gelisah dengan situasi genting seperti ini, apalagi An tengah bertaruh di dalam sana dengan alat-alat medis.
"Saya tidak tahu, bagaimana mereka menculik putri saya. Cilla tidak tahu apa-apa tentang ini.." Johan menatap Valcano. ".. Siapa sebenarnya mereka? Hingga mereka beraninya menculik gadis yang mereka juga tidak kenal, hah?"
"Giano.. Musuh saya," jawab Valcano tertunduk.
Johan mengangguk. "Musuh ya? Sekarang saya tahu apa motif ini."
Johan berdehem lalu mengubah posisinya tegap. "Artinya, Cilla akan bahaya jika berdekatan dengan lelaki semacam kamu."
Saat itu juga, atensi Valcano langsung tertuju pada Johan.
"Lelaki urakan macam kamu, harus menjauhi putri saya karena saya tidak ingin terjadi hal-hal yang menggerikan menimpa kepada Cilla." Johan memasukkan kedua tangannya pada saku celananya. "Saya yakin kamu mengerti bahasa saya dan juga mengerti apa yang harus kamu lakukan."
Valcano menghela napas pasrah. “Saya.. Saya tidak bisa.”
Johan menatap nyalang Valcano. “Kenapa tidak bisa? Jika memang kamu suka dengan anak saya, jauhi dia, karena itu yang terbaik.”
“Saya akan menjaganya,” bantah Valcano tidak mau kalah.
“Tidak.” Johan menggeleng. “Kejadian ini sudah cukup membuktikan efek Cilla bersama kamu. Saya tidak ingin hal ini terjadi kembali. Saya tidak ingin kehilangan dia.”
“Kasih saya kesempatan untuk membuktikan kepada Om Johan.”
Johan tetap kukuh pada pendiriannya, dia tidak ingin anak gadisnya merasakan hal buruk. Sebagai seorang Ayah, tentu Johan ingin Cilla selalu aman.
“Tidak, Nak.” Suara Johan mulai melunak, emosinya sudah reda. “Saya tidak ingin Cilla terluka, lukanya sudah terlalu banyak karena kesalahan saya sendiri.”
Valcano menunduk, cara apalagi agar Johan mampu memberikan kesempatan untuknya? Apakah memang dia harus kembali berpisah dengan Cilla?
“Saya..” Valcano menggantung ucapannya. “Saya.. Benar-benar cinta dengan Cilla.”
“Kamu terlalu kecil untuk tahu soal cinta,” jawab Johan.
“Saya tidak bisa meninggalkan Cilla.”
“Jika kamu mengaku cinta kepada Cilla, maka kamu harus meninggalkan Cilla. Cinta juga tidak harus memiliki, bukan?”
Ada pertanyaan?
KAMU SEDANG MEMBACA
Valcano
Teen Fiction[SEGERA TERBIT] "Valcano, aku kehujanan boleh minta tolong jemput aku?" "Jangan ganggu gue." ••• "Valcano, boleh minta tolong jemput aku?" "Gue lagi sama Messa." "Val-" ••• "Val, sakit.." "Telefon lagi gue blokir nomor lo." ••• "Valcano, mereka semu...