47 : Bingung

15.9K 1.1K 143
                                    

Bagaimana bisa hatiku berpindah jika sudah kau paksa untuk tetap disana?

•••

"Apa game-mu itu lebih penting dari pada aku, Valcano?"

Valcano melirik Cilla yang tersenyum penuh arti di hadapannya. Sontak, lelaki itu mematikan handphonenya, tidak peduli apa yang terjadi dengan gamenya yang terpenting gadis di hadapannya ini tidak merajuk.

"Lelaki idaman," respon Cilla sambil menatap Valcano lebih dekat lagi.

"Hus, jauh-jauh sana. Kamu bau."

Cilla memukul paha Valcano dengan kencang, membuat lekaki itu meringis.

Marwah yang mendengarnya pun langsung mendatangi mereka. "Apa yang kalian berdua lakukan?"

"Bun, anaknya nakal," adu Cilla dengan tenang.

Valcano mendengus, memilih untuk diam. Saat ini, Cilla berada di rumah Marwah, baru saja dia selesai membantu Marwah untuk beberes rumah karena ada acara keluarga tadi.

Jika ditanya bagaimana saat Cilla bertemu dengan keluarga besar Valcano tadi? Woah, gugupnya minta ampun. Cilla serasa mau meninggal.

Marwah hanya geleng-geleng kepala lalu pergi lagi ke dapur.

"Cilla, nikah yuk," ajak Valcano. "Kan lebih seru kalau kita udah nikah."

"Nggak ah, mau sekolah aja."

"Yeu."

"Nikahnya kapan-kapan aja kan bisa."

"Kamu bilang gitu enteng banget ya," ucap Valcano.

"Ya mau gimana lagi? Ajak tuh yang berkelas gitu kek, jangan diajak nikah." Cilla membela dirinya, jika mode debat seperti ini, dia tidak ingin kalah debat dari lelaki yang saat ini duduk di sampingnya.

Valcano tampak berfikir, apa kira-kira ajakan yang berkelas.

Ah, Valcano tahu apa itu.

"Bunuh diri yuk!"

•••

Mobil Valcano telah terparkir tak jauh dari area pemakaman. Lelaki itu turun sambil melepas kacamata hitam yang dipakainya, lalu tak lama kemudian keluar Cilla dari dalam mobil.

"Mau ditemani atau bagaimana?" Tanya Valcano.

"Aku mau sendiri," katanya. "Kamu tunggu disini ya."

"Oke, aku tunggu di dalam mobil, sayang."

Cilla mengangguk lalu masuk ke area pemakaman. Tidak ramai, tapi ada beberapa orang yang berziarah.

Gadis itu berhenti di depan makam Metta. Tangannya mengusap nisan bertulisa Metta Anindya itu dengan kasih sayang. Memori ingatannya dengan Metta pun berputar tanpa diminta oleh gadis itu.

"Bu Metta, aku mau ucapin terima kasih banyak sama Ibu. Berkat Bu Metta dan Tuhan, aku masih hidup. Aku juga udah nggak melukai diri aku sendiri. Bu, sekarang orang tuaku udah mulai sayang sama aku..."

Cilla mengusap air matanya yang jatuh.

"... Aku bahagia karena mereka mulai menganggap aku ada. Bahagiaaa banget. Mungkin kalau Bu Metta masih hidup, Ibu bakal dengerin apa yang aku ceritakan tentang Mama, Papa dan Silla. Oh iya, Nenek juga mulai sayang sama aku. Tapi, Paman dan Bibi harus diusir karena mereka jahat sama keluargaku."

Cilla membayangkan wajah cantik Metta yang selalu menyambutnya dengan senyuman.

"Terima kasih ya, Bu, sudah ada saat aku butuh seseorang yang menguatkan. Saat semua orang tidak menganggapku, cuma Ibu yang ada disamping saat aku butuh. Bu Metta datang ya ke mimpi aku, aku rindu bangett sama Bu Metta. Maaf, aku kesini nggak bawa bunga, soalnya aku trauma kalau bawa bunga." Cilla menghela napas, mengingat jika dulu Metta menolongnya saat baru saja membeli bunga. "Tapi, Cilla bakal selalu berdoa buat Bu Metta."

Setelah beberapa menit berdoa, Cilla kemudian keluar dari area pemakaman. Dia langsung masuk ke dalam mobil Valcano dan melihat lelaki itu tampak linglung.

"Val, are you okay?" Cilla menyentuh pundak Valcano.

Valcano terkejut. "Kenapa?"

"Aku udah selesai."

Valcano menatap lekat Cilla, tatapan matanya sendu. Valcano mengusap kepala gadis itu lalu menarik Cilla ke dalam dekapannya.

"Hey, kamu kenapa, sayang?" Tanya Cilla lembut.

"Janji jangan tinggalin aku?"

Cilla membalas pelukan itu. "Iya, aku nggak bakal tinggalin kamu. Kayak biasanya, aku nggak bisa janji karena takut tidak bisa menepati."

Aku nggak mau melakukan apa yang kamu lakukan dulu, Val.

•••

"Sial, maksut lo apa?"

"Apa? Gue cuma mau hasrat gue terpenuhi, salah?"

Valcano ingin sekali menghajar gadis yang ada di hadapannya saat ini. "Lo!" Tanganya tertuding ke arah gadis itu. "Sekalinya jalang tetep jalang lo, Qil."

Aqila membuang permen ganggangnya. "Hei! Hei! Jangan ucapan lo ya."

"Lo!" Valcano frustasi. "Gue jijik sama lo, Qil! Lo main nyosor aja dan memanfaatkan situasi!"

"Lo nganggur waktu itu, gue ladenin emang salah? Ya, setidaknya lo harus berterimakasih karena gue nemenin lo waktu itu." Aqila mendekatkan dirinya pada Valcano, namun lelaki itu lebih dulu mendorong gadis itu dengan tatapan penuh kebencian.

"Murahan!" Teriak Valcano emosi. "Hapus foto itu cepat!"

Aqila menggeleng dengan senyum yang mengembang. "Ikuti saja permainan yang saat ini lo ikut main, sayang.."

"Argh! Apa mau lo, hah?"

Aqila tertawa tidak jelas, lalu gadis itu menatap Valcano dengan tatapan penuh gairah. "I want you, babe."

"Bitch!" Sentak Valcano penuh emosi. "Hapus foto itu atau gue bunuh lo!"

"Lo!" Aqila menunjuk Valcano. "Mau bunuh gue? Hahaha, lelucon yang lo lontarkan cukup buat gue merasa geli, Val."

"Sial!" Makinya.

Aqila hanya menyunggingkan senyum yang menurutnya manis lalu kembali berjalan masuk ke dalam club, meninggalkan Valcano yang penuh dengan emosi yang melanda dirinya.

"Apa yang sebenarnya dia mau?"

•••

Yuk yuk tebak apa yang di mau Aqila haha.

Spam next disini.

ValcanoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang